Rabu, 07 Mei 2014

Romantika Profesi

         Dengan memaparkan senyum yang melampaui usianya, Fandi menggenggam botol aqua 600 ml yang telah dipotong bagian ujungnya dan ia gunakan sebagai tempat menampung uang pemberian para keluarga yang menampilkan senyum terbaiknya, ataupun para kawula muda yang ingin mengabadikan moment mereka, maupun para individu yang merasakan kebahagiaan dalam kebersamaan dengan teman – teman mereka, melalui jasa berfoto bersama ayahnya. Fandi begitu bangga dengan sang ayah. Bukan karena ayahnya memiliki banyak penggemar, bukan karena ayahnya seorang yang kaya, ataupun memiliki kedudukan yang tinggi.. bukan.. hal ini disebabkan karena ayahnya memakai suits karakter animasi bernama “Minion”, sebuah icon yang dipopulerkan melalui film animasi berjudul “Despicable Me” dan digambarkan memiliki mimik yang lucu, mata yang besar, dan kulit yang berwarna kuning.

            Figur ayahnya, yang berpeluh dalam pakaian “minion” yang bersuhu tinggi karena kurangnya sirkulasi dari pakaian tersebut, dibalut dengan tarian mentari di jantung kota Jakarta membuat Fandi, seorang bocah 5 tahun semakin bersemangat untuk mengitari orang – orang yang telah berfoto dengan ayahnya demi mengupah peluh sang ayah. Memang, tak sedikit yang tak memberikan upah, karena profesi dari ayahnya tak membutuhkan skill khusus ataupun ilmu yang tinggi. Ia hanya membutuhkan antusiasme dengan sedikit melambai dan melompat di kala terdapat customer yang ingin berfoto dengannya. Berbekal antusiasme, sang ayah berusaha membelai sisi kemanusiaan dan belas kasih dari “para pelanggannya” sembari menadah uang – uang sukarela dari kantong – kantong mereka.

            Fandi, di usianya yang baru menginjak 5 tahun tersebut telah mengerti arti kebanggaan akan etos kerja yang kuat, semangat dan determinasi yang tinggi untuk sekedar menyambung hidup. “uangnya sudah cukup yah untuk makan hari ini..”, kata Fandi dengan jeritan riang setelah menghitung lembar demi lembar uang kertas yang kusut dan recehan yang terkumpul dalam botol aqua yang menjadi mainan masa kecilnya. Uang – uang yang terkumpul dimasukkannya ke dalam plastik bekas sembari mengangkatnya tinggi – tinggi dan melompat kesana kemari sembari berkata,”yuk yah, pulang!”. Sang ayah hanya tersenyum memandang anaknya... nanar... sambil berkata dalam hati,”maafkan ayah nak... ayah tak bisa mewarnaimu dengan pelangi masa kecil.... ayah hanya mampu mengajakmu untuk terus bersyukur menghargai hidup meski dunia meremehkanmu, mencampakkanmu ke dalam lubang terdalam yang tak mampu kamu bayangkan.. angkatlah kepalamu nak.... Tuhan belum selesai denganmu...”


          Mentari pagi pun berganti dan meredupkan sinarnya..  Ayah dan anak itupun menjauh dari jantung kota Jakarta... tertelan larutan senja.




Ad Maiorem Dei Gloriam





Amadeus Okky Suryono

2 komentar:

  1. kehidupan adalah syukur, maka ketika manusia berhenti bersyukur berarti menusia berhenti untuk hidup.Ya, gak semua beruntung tapi bukan berarti harus mengeluh akan ketidakberuntungan yang dimiliki \:D/

    BalasHapus