Sabtu, 11 Agustus 2012

Bahasa Indonesia vs Bahasa Jawa

Sumber Gambar : www.google.com

Malam menjadi dingin..dalam gemerisik lembut dedaunan yang dibelai angin..dan keheningan malam seakan terbelah ketika kudengar seruan di kejauhan,”ky..ikut mbah adorasi ekaristi di gereja yuk..” aku yang asing akan kosakata adorasi ekaristi pun langsung manut saja akan ajakan eyangku. “Yah..sekali – sekali lah mengikuti kegiatan rohani”, pikirku.. malam itu sekitar pukul 9 malam, kamipun membelah dinginnya malam dengan sepeda motor dan ditemani dengan erangan mesin yang menderu dalam heningnya bulan..

Tak sampai 10 menit kamipun tiba di salah satu gereja di Ceper, Klaten dan kedatangan kami disambut dengan aura ke-khusyukan gereja tersebut dari dalam. Adorasi Ekaristi pun dimulai dan “memaksa” obrolan – obrolan umat yang mayoritas menggunakan bahasa Jawa pun terhenti. Ya! Adorasi Ekaristi merupakan suatu konsep berdoa Rosario dan Ekaristi singkat yang dilakukan secara bersama – sama, dan kebetulan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Aku memang pernah belajar akan bahasa Jawa, dan mengerti apa yang dimaksud ketika ada orang yang menggunakannya, tetapi sangat jarang aku menggunakannya. Kegundahanku pun dimulai... 

Konsep berdoa rosario secara bersama – sama mengharuskan umat untuk secara bergantian dan urut dari tempat duduk mereka untuk melafalkan doa Salam Maria dan Bapa Kami ditemani dengan tarian api diatas lilin menemani mereka yang melafalkannya. Dalam hati aku merasa malu mengapa aku tak sering menggunakan bahasa Jawa agar dapat menggunakannya di saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua ataupun di saat – saat berdoa dengan pengantar bahasa Jawa seperti ini.

Ketika tiba giliranku, seorang ibu tua sepertinya mengerti kegundahanku yang tak fasih berbahasa Jawa dan lilin kecil itu menghampiriku, tanda itu adalah giliranku melafalkan doa Salam Maria. Beliau membisikanku dari belakang dengan berkata,” pake bahasa Indonesia juga gakpapa..” sontak aku tersenyum kecil dan melafalkan dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang disambut oleh umat yang lain dengan bahasa Indonesia pula.

Syndrom yang aku alami kurasa juga dialami oleh hampir sebagian besar generasi muda Indonesia yang saya temui, dimana mereka merasa bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang gak keren. "Hari gini mah lebih gaul pake bahasa Indonesia, gak usah pake bahasa jawa" . Bahasa Jawa merupakan bahasa budaya di pulau Jawa yang menganut tata krama ketika sedang berbicara kepada orang yang lebih tua ataupun kepada siapapun untuk mengakrabkan suasana. Aku pun lebih menghargai para putra daerah yang berasal dari luar pulau jawa, dimana mereka sering menggunakan bahasa mereka untuk sekedar berbincang kepada orang tua mereka maupun teman – teman mereka. 

Pola pikir tidak adanya apresiasi kepada budaya ini sudah merembes ke putera – putera Jawa yang tinggal di perkotaan pada umumnya. Para generasi muda ini seakan apatis terhadap penggunaan bahasa Jawa yang tak keren ini, hingga akhirnya berdampak pula pada budaya mengapresiasi penampilan dalang yang menari bersama wayang  - wayang nya yang turut menjadi luntur. Hanya satu dua anak muda yang mau dan berminat untuk duduk lesehan sembari menikmati alunan gamelan dan Sinden yang mengarak para wayang kulit untuk beraksi. Tontonan indah berbahasa jawa ini seolah tak menjadi tren anak muda saat ini yang lebih suka menonton film – film korea yang kebanyakan dikarenakan wajah – wajah para aktor – aktris nya yang ganteng dan cantik.

Ketika sekelumit kondisi generasi muda kita tak mau mengapresiasi bahasa jawa sebagai salah satu budaya kita, bermain karawitan pun menjadi imbasnya. Dikarenakan stigma para generasi muda Indonesia khususnya di Jawa yang menganggap bahwa salah satu bahasa budayanya gak keren, mereka akan menganggap yang berkaitan dengan Jawa-jawa nan juga gak keren, termasuk karawitan. Suatu hari, saya melihat program tv berjudul Jalan – Jalan di salah satu TV swasta, dimana mereka melaporkan dari Jepang dan mewawancarai beberapa orang Jepang pasca pertunjukan Karawitan mereka. Pikiran pertama yang muncul di benakku,”Apa?? Orang Jepang yang notabene tinggal di luar wilayah Indonesia justru MAU untuk memainkan apalagi melestarikan budaya Indonesia seperti Karawitan?? Trus generasi muda kita??” 

Aku mengajak semua generasi muda baik yang masih seperti saya, yakni belum dapat menggunakan Bahasa Jawa tetapi sebenarnya mengerti apa yang dimaksud ketika mendengarkan bahasa tersebut diucapkan, maupun generasi muda yang sama sekali blong gak tau apa – apa tentang salah satu bahasa budaya tempat ia tinggal, yuk sama – sama turut ambil bagian dalam upaya kita melestarikan dan mengapresiasi budaya kita yang keren abis ini.



Ad Maiorem Dei Gloriam





Amadeus Okky Suryono   

2 komentar:

  1. Hehe.. justru malah bahasa nasional adalah bahasa indonesia. tergantung tempatnya saja. dari pada aku belajar bahasa lampung, lebih baik aku berbahasa indonesia. ya nggak??
    jujur aja ni, lahir dilampung tapi nggak tau bahasa lampung.. Kerennnnnn

    #I guess

    BalasHapus
  2. yup..bener..cm yg aku takutkan disini, stigma akan bahasa daerah yang "gak cool" ini justru berdampak pada krgnya pelestarian budaya yang berkaitan dengan bahasa ini, misal kayak contoh d atas ada karawitan..hhehehoho..

    BalasHapus