Sabtu, 06 April 2013

Lonceng bruno..


            Auclair, seorang pria berusia 64 tahun dengan rambut cepak beruban yang dimilikinya, serta keriput yang menemani sepi hari – harinya, sedang terduduk di tangga teras rumahnya yang di design dengan ukiran – ukiran khas jawa di setiap sudutnya dan menambah kesan sederhana dari rumah tak berpagar ini. Pikirannya berkelana semenjak tadi pagi ketika  ia ditawari untuk mengurus seekor anak anjing dari seorang teman yang memiliki beberapa anjing di dalam rumahnya. “untuk menemani sepi”, katanya. Auclair yang hanya menempati rumah sederhana yang dibeli dari tangan sahabatnya 40 tahun lalu semenjak dirinya memutuskan untuk meninggalkan Prancis dan tinggal di Indonesia ini pun langsung mengiyakan tawaran tersebut sembari menyambut dengan secercah angan mengenai hal – hal apa saja yang dapat ia lakukan dengan hadirnya anak anjing coklat tua yang baru berusia 1 bulan ini. “bruno..aku namai ia bruno..”, katanya dalam hati.

         Semenjak hari pertama kedatangan bruno yang ia letakkan di salah satu ruangan tak terpakai selama proses adaptasinya untuk bernyanyi bersama dunia, hatinya yang kerut dan kosong selama bertahun – tahun sejak keputusannya untuk memilih tak menikah 30 tahun yang lalu akibat ditinggal lari pacar dalam hubungan yang telah dirajutnya selama 5 tahun dan justru memilih bertunangan dengan orang lain itu kini seolah bersemi kembali. Gayanya yang lincah, gonggongan yang menggemaskan, seakan menjadi pewarna hari – hari pensiunnya yang kelabu

       6 bulan berlalu, bruno berubah menjadi seekor anjing remaja yang selalu meloncat dengan antusias tatkala auclair kembali ke rumah serta menyambutnya dengan hangat. Tak peduli apapun hal negatif yang dunia katakan padanya, tak peduli seburuk apapun para manusia sibuk mempertentangkan kepentingan – kepentingan mereka sendiri di luar rumah sederhananya, tak peduli apa yang para tetangga katakan tentang keberadaan anjingnya selama 6 bulan terakhir, dimana kerisihan mulai melanda dan sensitifitas negatif akan anjing mulai meradang, seolah tanpa memperdulikan semuanya itu, bruno dengan insting murninya tetap melompat dan memeluk satu sisi kaki auclair sembari menjulurkan lidahnya hingga mendapatkan beberapa elusan di kepala yang ia rindukan dari tuannya meski hanya berpisah beberapa saat.

        Hari dan bulan pun berlalu, dengan balutan waktu tubuh mungil bruno telah menjelma menjadi seekor anjing dewasa yang tegap dan berotot, menjalankan tugas rutinnya untuk membagikan cinta kepada tuannya, berlari kesana kemari dengan bunyi gemerincing dari lonceng yang menempel di kalung leher yang bertuliskan nama bruno di atasnya. Rumah sederhana itupun dalam kurun waktu setahun telah berevolusi menjadi sanctuary bagi mereka berdua.

      Hingga suatu hari, sebuah keputusan diambil dari para tetangga yang merasa risih dengan bruno meskipun keberadaannya tak mengganggu keseharian mereka. Para tetangga masih belum merasa menyatu akan hidup mereka yang berdampingan dengan anjing di lingkungan rumah mereka. Dan dongeng mereka berdua pun harus berakhir. Bruno harus dijual, dimana pada umumnya anjing yang dijual juga akan berakhir pada tempat penjagalan. Pilihan kedua adalah mereka yang membuangnya, membiarkannya terseok dalam kedengkian jalanan seperti anjing – anjing liar lainnya. Auclair pun merasa patah hati, seolah hatinya yang berkerut dan lelah seolah tak mampu lagi menampung rasa sakit yang masih ada sepeninggal kekasihnya. Tetapi keputusan para tetangga sudah bulat. Pikirannya pun terbersit untuk menjual rumah sederhananya dan tinggal di rumah yang lebih kecil lagi dengan bruno di sampingnya. Tetapi ia begitu cinta akan rumah yang telah menjadi saksi berpuluh – puluh tahun kehidupannya termasuk berperan dalam saksi biksu percintaannya dengan kekasihnya. Ia pun juga teringat akan janjinya kepada sahabatnya untuk mencintai rumah ini sebagaimana ia mencintai dirinya. Dengan mata berkaca – kaca, ia pun memutuskan untuk menyerahkan bruno, sahabat yang telah menempati ruang kosong di sudut hatinya yang merapuh. Bahkan air mata pun tak sanggup mewakili apa yang ia rasakan saat ini.

       Seminggu telah berlalu, tanpa bruno yang melompat di satu sisi kakinya, tanpa bruno yang begitu antusia mencintainya. Dan satu – satunya kenangan yang tak akan ia lepaskan hanyalah lonceng yang dulu bersenandung tatkala menghiasi leher bruno. Lonceng yang akan selalu ia bawa kemanapun, meskipun menimbulkan bunyi gemerincing yang berisik. Meskipun menjadi suatu hal yang aneh ketika seorang manusia akan bergemerincing setiap langkah ia berjalan dan menjadi gosip para tetangga yang mulai menganggapnya autis. Lonceng itu tetap menggenggam dalam tangannya. Dan ia takkan pernah melepaskannya.. takkan pernah..





Ad Maiorem Dei Gloriam





Amadeus Okky Suryono

0 komentar:

Posting Komentar