Sabtu, 12 Oktober 2013

Air Mata dari Langit

            Ayu.. sebuah nama yang menyiratkan kesederhanaan.. bukan nama metropolis yang ke-barat-barat-an seperti Keisha, Cindy, Pamela, Jessica..dimana konon.. semakin ke barat sebuah nama, semakin keren dan kece orangnya.. bukan.. bukan itu semua.. tetapi nama yang merasuk dalam budaya rakyat jawa.. Ayu, dimana dalam bahasa jawa yang berarti cantik..dan kecantikannya memang seperti mutiara yang berpendar di dasar laut tak terjamah..anggun dan bersinar di tengah lingkungannya yang semakin menghitam..

            Ayu..gadis kecil berusia 5 tahun yang tinggal di pedalaman Saptosari..berlari dengan kaki telanjang dan bercumbu dengan lumpur tanah merah khas kota Wonosari.. sembari menyambut gerimis putih  bersama alunan embun pagi sebagai penghibur pertama kemarau yang panjang dan melelahkan,  mengangkat wajahnya..memejamkan mata polosnya..ia menikmati..untuk sejenak..air mata dari langit..bagai seorang sahabat yang tak bertemu sekian lama... ya.. sahabatnya bukan gadget, bukan Teddy bear.. tetapi air mata dari langit..

            “simboook... langit’e nangiiiis...” (buu, langit menangis), katanya sambil berteriak kepada ibunya yang berlari – larian mengambil baju jemuran yang mulai tersibak angin bercampur rintik hujan..

            “iyoo nduuk” (iya nakk..), jawab ibunya singkat..

        “aku yo kepingin nangis mboook..ngancani langit..” (aku juga mau  nangis bu.. menemani langit), katanya sembari mengusap matanya yang lebih basah dari rintik hujan yang bersetubuh dengan merahnya tanah..

            Ia terduduk di tanah..dress merah lusuh yang dipakainya semakin basah oleh gerimis yang menari di atas kepalanya..air matanya semakin mengalir..tangisannya semakin menjadi..tangan – tangan mungilnya menggenggam tanah berlumpur di sisi kiri – kanannya.. Ia tak lagi peduli dengan semakin membekunya udara pagi itu..

            Ibunya berlari menghampirinya...memeluk dan berusaha menghangatkannya dengan hangat tubuhnya..mengangkat dan membawanya ke dalam pondok kayu mereka..mengelap tubuh anaknya dengan kain kering seadanya, memangku, dan meletakkan kepala anaknya di dadanya..dekat dengan hatinya..jantungnya..jiwanya..

            “ngopo ora ngiyup to nak?” (kenapa kok tidak berteduh nak?), kata ibunya sembari membelai lembut rambut  basah anaknya..

            “pingin ngancani langit, mbok..mesakke..dewean..” (ingin menemani langit, buu.. kasihan... sendirian..), kata ayu sembari mengusap lelehan air matanya di pipinya yang tak sebulat anak – anak kota nan menggemaskan..

            “ah...nduk..”




Ad Maiorem Dei Gloriam


Amadeus Okky Suryono

            

1 komentar: