Kereta.
Mungkin
jika kata itu bisa disisipkan menjadi salah satu sel ku, Ia hanya terus menerus
membelah diri hingga kata itu membentuk diriku dalam jutaan sel. Jika aku
melihat kata itu, aku akan berkelebat dalam pengalaman menunggu, menaiki,
hingga tiba di tempat tujuan yang menyambut dalam beribu makna.
Pengalaman menunggu. Kala itu, lelah
akan waktu yang membuat kita menua karena kerja rodiku di salah satu perusahaan
di Jakarta, menyita mimpiku, memisahkan jarak dengan kekasih hati,
memperpanjang gelombang rindu, aku.. seorang yang begitu menyambut hari sabtu
minggu dimana orang pada umumnya hanya menganggap hari weekend biasa, menjadi 2
hari yang special bagiku di bulan itu. Umumnya seorang muda yang sedang jatuh
cinta, aku hanya melihat tujuanku, tak peduli seberapa jarak yang harus
kutempuh menuju Yogyakarta. Waktu itu, keretaku berangkat pukul 5 pagi,
diiringi cinta buta masa muda, aku berangkat menuju stasiun pukul 10 malam,
dengan alasan untuk mendapatkan transportasi menuju stasiun yang murah.
Sesampai disana? Jelas aku harus menunggu...waktu itu stasiun pasar senen tak
memiliki ruang tunggu. Hanya terdapat pelataran yang beralaskan lantai yang
dingin, malam yang membalut tubuh, dan angin yang bergemerisik membekukan tengkuk.
Aku berusaha untuk tertidur di atas pelataran yang mungkin, menjadi tempat
tidur pengemis dan peminta – minta, ataupun para penumpang yang rela mengalah
kepada rasa kantuk dan terlelap berselimutkan malam.
Malam pun juga bermurah hati
padaku.. aku terlelap..
Setelah
melewati romantika bersama kekasih di Jogja dan bla bla bla bunga – bunga bermekaran
kesana kemari, tawa canda, gandengan tangan dan dunia serasa milik berdua, aku
pun kembali menuju Jakarta. Sehari setelah pelataran menjadi kasur tidurku. Aku
mulai terbangun dari mimpi, selama perjalanan menaiki kereta kembali menuju
Jakarta, Aku hanya bisa menggaruk seluruh tubuh..kubuka baju di toilet kereta,
seluruh tubuh memerah dan begitu gatal. Dampak tertidur di pelataran peron baru
terasa sehari setelahnya. Cinta menjadi tak begitu penting lagi, dan lamunanku
berubah dari bayangan tentangnya, menjadi berendam air panas. 8 jam perjalanan
menuju Jakarta seperti 8 jam perjalanan menuju neraka.
Setelah pengalaman itu, peristiwa
aku tertidur di peron menjadi sesuatu yang biasa buatku. Pengalaman curi – curi
tidur dengan merebahkan tubuh di kursi – kursi kosong pukul 2 dini hari di
stasiun Jatinegara sembari mengamati tak ada satpam stasiun yang melintas
menjadi pengalaman – pengalaman melelahkanku bersama kereta. Tak adanya
transportasi waktu dini hari dan perjalanan yang seharusnya kutempuh dari
Jakarta menuju Cikarang (tempat tinggalku waktu itu) yang cukup jauh memaksaku
untuk mengeram waktu di stasiun dan menunggu mentari terbit. Jam operasional
angkutan umum.
Kereta juga menjadi rumah bagi
berbagai macam kelas sosial. Di Jakarta, aku sering menggunakan kereta api
listrik yang setia mengantarkan tukang becak, banci, pedagang, orang kantoran,
anak – anak muda ababil, tua, muda, cacat, ibu hamil, berdesak – desakan di
dalam kereta pada jam sibuk Jakarta. Air
Conditioner menjadi pajangan, peluh menjadi sandangan. Preman memasang gaya
“tangguh” dengan tattoo di beberapa bagian tangan, Banci memaki orang - orang yang secara usil mengejek mereka
sebagai lelaki. Ya.. menjadi lelaki.. umpatan paling kasar untuk mereka...
Copet mencari peluang untuk mendekati engkong – engkong yang memasukkan samsung
seri terbaru di saku celana kainnya, mengundang para pencopet, penjambret dan
perampok jalanan yang merupakan teman – teman orang miskin dan papa, lambang
ketidak adilan kehidupan, untuk menumpas habis orang – orang sombong dan
congkak di muka umum.
Tuhan begitu berbaik hati padaku
karena sepanjang kereta yang aku tumpangi, aku diberikan pengalaman untuk
merasuk dalam berbagai sisi manusia, kelelahan hidup yang mendera mereka,
lamunan mereka untuk menjadi bahagia. Melalui kereta, aku diberikan kisah
nyata, bukan omong kosong yang sering diberikan para pemuka agama yang bahkan
jarang bersentuhan dengan masyarakat jelata, yang sibuk berkoar tentang surga
dan neraka secara biblikal dan bukan karya nyata. Teorikal bukan praktikal.
Pernah suatu kali, pada pukul 12
siang, begitu banyak penumpang kereta api listrik di stasiun Jakarta Kota yang
mengantri membeli tiket. Saat itu aku hanya bersumpah serapah akan kesedihan
yang mendera hariku. Sesaat aku menatap barisan penumpang yang mengular, aku
menjadi tak berdaya. Perutku kosong, mentari begitu terik dan menyebabkan
suasana stasiun gerah tak keruan. Aku berjalan lunglai meratapi nasibku hari
itu, sembari menuju baris terdepan. Aku bertanya ke satpam tak jauh dari situ
sebuah pertanyaan retorik,”pak, ini antrian penumpang KRL?”. Si Satpam menjawab
dengan galak,”Ya, tolong antri di sebelah sana!” sembari menunjuk ke ekor
antrian. Seorang pemuda yang antri di baris terdepan melihatku, sambil
bertanya,”mau kemana mas?”. Aku dengan lemas menjawab,”mau ke mangga besar
mas..”. Ia membalas,”sini lewat saya saja”. Aku terbelalak. Instingku berkata
untuk mempercayai orang baik hati yang menawarkanku bantuan itu. Logikaku
berteriak,”hey! Itu siapa? Kamu mau ngasih uang ke orang asing?”. Fisikku terlalu
lemah untuk bekerja dan aku pun memutuskan untuk mempercayai instingku. Kuberikan
1 lembar 20 ribu kepada orang yang tak kukenal itu, sembari menahan tubuhku
yang didorong oleh satpam yang semakin gusar karena aku membuatnya gerah,
memenuhi space tempatnya. Aku menunggu
ke tempat yang agak lengang, sembari menatap di keramaian. Aku tak melihat
orang asing itu. Tertutup oleh padatnya suasana stasiun. Aku terus menatap di
keramaian, berusaha mengingat – ingat wajah dari orang asing itu. Beberapa saat
kemudian, wajahnya kulihat, tersenyum sembari memberikan tiket dan uang
kembalian secara pas kepadaku. Ia berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang
terus mengucapkan terima kasih. Aku memuji kemurahan Tuhan. Dan aku
mendoakannya untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup. kataku dalam hati.
Kereta, petualangan macam apa yang
akan kau berikan lagi nanti?
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono
0 komentar:
Posting Komentar