Senin, 01 Juni 2015

Petualangan di sebuah kata "Kereta"

Kereta.
Mungkin jika kata itu bisa disisipkan menjadi salah satu sel ku, Ia hanya terus menerus membelah diri hingga kata itu membentuk diriku dalam jutaan sel. Jika aku melihat kata itu, aku akan berkelebat dalam pengalaman menunggu, menaiki, hingga tiba di tempat tujuan yang menyambut dalam beribu makna.

            Pengalaman menunggu. Kala itu, lelah akan waktu yang membuat kita menua karena kerja rodiku di salah satu perusahaan di Jakarta, menyita mimpiku, memisahkan jarak dengan kekasih hati, memperpanjang gelombang rindu, aku.. seorang yang begitu menyambut hari sabtu minggu dimana orang pada umumnya hanya menganggap hari weekend biasa, menjadi 2 hari yang special bagiku di bulan itu. Umumnya seorang muda yang sedang jatuh cinta, aku hanya melihat tujuanku, tak peduli seberapa jarak yang harus kutempuh menuju Yogyakarta. Waktu itu, keretaku berangkat pukul 5 pagi, diiringi cinta buta masa muda, aku berangkat menuju stasiun pukul 10 malam, dengan alasan untuk mendapatkan transportasi menuju stasiun yang murah. Sesampai disana? Jelas aku harus menunggu...waktu itu stasiun pasar senen tak memiliki ruang tunggu. Hanya terdapat pelataran yang beralaskan lantai yang dingin, malam yang membalut tubuh, dan angin yang bergemerisik membekukan tengkuk. Aku berusaha untuk tertidur di atas pelataran yang mungkin, menjadi tempat tidur pengemis dan peminta – minta, ataupun para penumpang yang rela mengalah kepada rasa kantuk dan terlelap berselimutkan malam.

            Malam pun juga bermurah hati padaku.. aku terlelap..

Setelah melewati romantika bersama kekasih di Jogja dan bla bla bla bunga – bunga bermekaran kesana kemari, tawa canda, gandengan tangan dan dunia serasa milik berdua, aku pun kembali menuju Jakarta. Sehari setelah pelataran menjadi kasur tidurku. Aku mulai terbangun dari mimpi, selama perjalanan menaiki kereta kembali menuju Jakarta, Aku hanya bisa menggaruk seluruh tubuh..kubuka baju di toilet kereta, seluruh tubuh memerah dan begitu gatal. Dampak tertidur di pelataran peron baru terasa sehari setelahnya. Cinta menjadi tak begitu penting lagi, dan lamunanku berubah dari bayangan tentangnya, menjadi berendam air panas. 8 jam perjalanan menuju Jakarta seperti 8 jam perjalanan menuju neraka.

            Setelah pengalaman itu, peristiwa aku tertidur di peron menjadi sesuatu yang biasa buatku. Pengalaman curi – curi tidur dengan merebahkan tubuh di kursi – kursi kosong pukul 2 dini hari di stasiun Jatinegara sembari mengamati tak ada satpam stasiun yang melintas menjadi pengalaman – pengalaman melelahkanku bersama kereta. Tak adanya transportasi waktu dini hari dan perjalanan yang seharusnya kutempuh dari Jakarta menuju Cikarang (tempat tinggalku waktu itu) yang cukup jauh memaksaku untuk mengeram waktu di stasiun dan menunggu mentari terbit. Jam operasional angkutan umum.

            Kereta juga menjadi rumah bagi berbagai macam kelas sosial. Di Jakarta, aku sering menggunakan kereta api listrik yang setia mengantarkan tukang becak, banci, pedagang, orang kantoran, anak – anak muda ababil, tua, muda, cacat, ibu hamil, berdesak – desakan di dalam kereta pada jam sibuk Jakarta. Air Conditioner menjadi pajangan, peluh menjadi sandangan. Preman memasang gaya “tangguh” dengan tattoo di beberapa bagian tangan, Banci memaki orang  - orang yang secara usil mengejek mereka sebagai lelaki. Ya.. menjadi lelaki.. umpatan paling kasar untuk mereka... Copet mencari peluang untuk mendekati engkong – engkong yang memasukkan samsung seri terbaru di saku celana kainnya, mengundang para pencopet, penjambret dan perampok jalanan yang merupakan teman – teman orang miskin dan papa, lambang ketidak adilan kehidupan, untuk menumpas habis orang – orang sombong dan congkak di muka umum.

            Tuhan begitu berbaik hati padaku karena sepanjang kereta yang aku tumpangi, aku diberikan pengalaman untuk merasuk dalam berbagai sisi manusia, kelelahan hidup yang mendera mereka, lamunan mereka untuk menjadi bahagia. Melalui kereta, aku diberikan kisah nyata, bukan omong kosong yang sering diberikan para pemuka agama yang bahkan jarang bersentuhan dengan masyarakat jelata, yang sibuk berkoar tentang surga dan neraka secara biblikal dan bukan karya nyata. Teorikal bukan praktikal.

            Pernah suatu kali, pada pukul 12 siang, begitu banyak penumpang kereta api listrik di stasiun Jakarta Kota yang mengantri membeli tiket. Saat itu aku hanya bersumpah serapah akan kesedihan yang mendera hariku. Sesaat aku menatap barisan penumpang yang mengular, aku menjadi tak berdaya. Perutku kosong, mentari begitu terik dan menyebabkan suasana stasiun gerah tak keruan. Aku berjalan lunglai meratapi nasibku hari itu, sembari menuju baris terdepan. Aku bertanya ke satpam tak jauh dari situ sebuah pertanyaan retorik,”pak, ini antrian penumpang KRL?”. Si Satpam menjawab dengan galak,”Ya, tolong antri di sebelah sana!” sembari menunjuk ke ekor antrian. Seorang pemuda yang antri di baris terdepan melihatku, sambil bertanya,”mau kemana mas?”. Aku dengan lemas menjawab,”mau ke mangga besar mas..”. Ia membalas,”sini lewat saya saja”. Aku terbelalak. Instingku berkata untuk mempercayai orang baik hati yang menawarkanku bantuan itu. Logikaku berteriak,”hey! Itu siapa? Kamu mau ngasih uang ke orang asing?”. Fisikku terlalu lemah untuk bekerja dan aku pun memutuskan untuk mempercayai instingku. Kuberikan 1 lembar 20 ribu kepada orang yang tak kukenal itu, sembari menahan tubuhku yang didorong oleh satpam yang semakin gusar karena aku membuatnya gerah, memenuhi space tempatnya. Aku menunggu ke tempat yang agak lengang, sembari menatap di keramaian. Aku tak melihat orang asing itu. Tertutup oleh padatnya suasana stasiun. Aku terus menatap di keramaian, berusaha mengingat – ingat wajah dari orang asing itu. Beberapa saat kemudian, wajahnya kulihat, tersenyum sembari memberikan tiket dan uang kembalian secara pas kepadaku. Ia berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang terus mengucapkan terima kasih. Aku memuji kemurahan Tuhan. Dan aku mendoakannya untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup. kataku dalam hati.

            Kereta, petualangan macam apa yang akan kau berikan lagi nanti?


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono 

0 komentar:

Posting Komentar