Perihal hubungan kita, tanpa pernah
tahu bagaimana berawal dan hanya mengandalkan sebuah kata kebetulan yang
disengaja, melalui sapaan yang tak langsung terucap, dan pertemuan – pertemuan semu
yang terjadi di suatu tempat dimana kamu hanya menahan merah pipimu dan
menyembunyikannya di balik keramaian. Kamu pergi. Menghilang.
Memang tak pernah ada kata cinta
yang terlontar ketika kita bersama. Hanya ada ribuan kemesraan yang bertali
temali dengan potongan – potongan adegan cerita dan tawa bersama. Hanya tawa. Kita
hanya mengeram waktu dengan cinta yang berada di awang – awang. Rasa yang
begitu pekat ingin terucapkan melalui nada – nada yang disenandungkan dalam
lagu – lagu nostalgia kita.
Aku tak keberatan ketika kamu
memilihnya malam itu. Dia. Bukan aku. Mungkin hatimu telah berkeriput karena
saling menunggu berucap kata cinta. sekarang, kata itu tak berarti lagi. Sebanyak
apapun kuyakinkanmu melalui ribuan cinta yang kuberikan melalui tatapan mataku,
itu tak lagi berpengaruh. Aku tahu itu. Yang terpenting sekarang, kamu dan dia
melontarkan senyuman dalam bingkai yang kalian rajut. Malam itu.
Sekarang, biarkan aku bahagia
melalui cara – cara yang tak dapat kurajut dengan akal logika. Setidaknya biarkan
aku belajar untuk melepasmu. Meskipun kata melepasmu menjadi begitu imajiner
karena kita tak pernah bersama dengan cinta terucap di kening kita, tetapi aku
bahagia dengan bintang kenangan yang bertahan walau lusuh terlindas waktu.
Aku akan berucap cinta meski kamu
tak mendengar. Kamu tak melihatku mengucapkannya meski kamu rela mati demi
menjadi saksiku berucap. Tetapi melalui tulisan ini, aku utarakan kata yang
terpendam semenjak kita mengada. Tak peduli situasi seperti apa sekarang. Aku mencintaimu.
Melalui dua kata terakhir yang
mungkin terlambat aku ucapkan, aku bahagia. Paling tidak aku mengerti bahwa aku
juga memiliki kapasitas yang cukup untuk mencinta.
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono
0 komentar:
Posting Komentar