Selasa, 05 Februari 2013

Pukul lima lebih tiga puluh menit


          Dering jam wecker yang melantun klasik membangunkanku untuk menikmati hari baruku dan seketika membuatku terkesiap dalam mimpi yang menyesapku semalaman. Meskipun aku selalu dibangunkan oleh lantunan klasik jam pengganggu tidur itu, dering itu tak pernah familiar..selalu buatmu ternganga dan memaksaku untuk membuka mata. Dering yang keras dan panjang..entah mengapa diriku tak pernah mau mengganti bunyi beep beberapa kali yang dilantunkan oleh jam – jam digital masa kini. Aku tetap berkeras dengan wecker klasik yang selalu menjerit ketika fajar melirik pada pukul lima lebih tiga puluh menit.
         
         Sembari mengernyitkan wajah dan menggaruk rambutku yang tak terasa gatal, aku berjalan terhuyung – huyung mengambil peralatan mandiku, mengatur air panas dengan suhu 40 derajat celcius dan mandi. Setelah menyelesaikan ritual mandiku, aku mengambil empat lapis roti tawar yang siap di meja makan, membubuhkan selembar keju ke dalam dua lapis pertama roti tawarku, dan satu telur mata sapi yang kugoreng cepat di penggorengan. Kuselipkan telur itu ke dua lapis terakhir roti tawarku. Menu sarapan ini tak pernah berganti semenjak aku SMA hingga aku bekerja di sebuah perusahaan bonafide seantero negeri. Tak lupa juga aku membuat kopi dengan takaran 2 sendok kopi, 3 gula dan 2 cream untuk menemani ritual sarapanku. Kupakai pakaian kerjaku, dengan kemeja putih, dasi merah, celana hitam kain dan jas hitamku. Aku merangsek menuju kantor tempatku bekerja yang terletak tak jauh dari apartemenku. Dan aku bergulat dengan data – data keuangan perusahaan hingga pukul 8 malam, mengambil kunci apartemenku dengan gontai, membukanya perlahan, mencari sofa terdekat yang terletak di depan televisi dan kurebahkan diriku dengan baju kerja masih menempel di badanku. Biasanya aku langsung terlelap dan terbangun pukul 2 dini hari untuk berjalan ke dapur, meletakkan panci dan membuat mie instan untuk mengganjal perutku. Selesai “makan pagi”, aku berjalan perlahan menuju kamarku sembari menggaruk perutku yang telah terisi, berganti pakaian, dan membanting diriku ke atas kasur. Aku terlelap hingga jam wecker klasikku membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.

         Apakah aku memiliki wanita? Ya. Dapat dikatakan kami saling mencintai, tetapi tuntutan pekerjaan membuatku terpisah sementara waktu dengannya hingga akhirnya waktu menuntun kita bekerja di 2 kota yang berbeda. Kami hanya bertemu sebulan sekali. Dan sebenarnya, aku hanya menghabiskan waktu keluar dari rutinitas ketika bertemu dengannya meski hanya 3 hari dalam sebulan. Kami biasa menghabiskan waktu dengan jalan – jalan ke luar kota,berkunjung ke berbagai tempat wisata, dan melakukan aktivitas saling memandang yang tak terhitung jumlahnya. Ketika memasuki akhir hari ketiga pertemuan dengannya, kami berpisah kembali dengan pintu apartemennya sebagai saksi perpisahan kami setiap bulannya. Satu kecup di pipi sebagai salam perpisahan dan aku melangkah pergi menuju rutinitasku yang dimulai ketika jam wecker klasikku membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.

       Akhir pekanku diisi dengan menonton bioskop di salah satu mall terbesar di kotaku, bioskop yang secara rutin kukunjungi setiap akhir pekan. Kubeli popcorn dan minuman soda yang selalu menemaniku nonton meski belum kubeli tiketnya. Dan kupilih kursi terpojok dalam bioskop itu meski dari pojok yang gelap itu, aku dengan jelas melihat berbagai pasangan saling merangkulkan tangan dan menyandarkan kepala di bahu sang pria. Pemandangan yang jelas membuatku iri, membuatku semakin merasakan sepi, dan aku berusaha untuk mengabaikannya dan melemparkan popcornku satu per satu ke rongga mulutku. Film pun usai, aku tetap tak beranjak dari tempat dudukku meski para penonton yang lain telah meninggalkan theater. Aku akan menikmati lima menit berada di bioskop dengan film yang telah usai daripada lima menit berada di apartemenku. Separah itu. Sesampai di apartemenku, aku merebahkan tubuhku, meski waktu masih terlalu awal untuk tidur dan aku bermimpi hingga jam wecker klasikku membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.

        Aku adalah orang yang mungkin terlalu berhemat, dan mungkin oleh sebab itulah teman – temanku selalu tak mengajakku untuk sekedar hang out dan chit chat di berbagai tempat nongkrong kesukaan anak muda. Karena aku sering menolak ajakan mereka meskipun uang tak menjadi masalah untukku dan aku berusaha untuk melihat secara detil pengeluaranku serta menyesal jika aku mengeluarkan uang terlalu besar karena telah mencoba menyesap kopi di sebuah cafe yang baru kukunjungi ataupun mencoba hal – hal baru lainnya. Ya..boleh saja kamu berkata hidupku hanya berwarna hitam dan putih, dan sedikit berwarna berbeda ketika 3 hari dalam sebulan aku bertemu wanita yang kurindukan. Aku selalu menebak perilakuku ini merupakan bawaan darah dari tiong hoa yang mengalir dalam darahku sekaligus aku yang juga bekerja sebagai staff keuangan. Tetapi hal itu tak dapat dijadikan alasan. Aku tahu itu. Terlepas dari segala alasanku, aku selalu memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, yang tak membutuhkan aktivitas hang out, jam wecker klasikku yang setia membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.

      Pernah..seorang rekan kerjaku mengatakan kepadaku bahwa hidupku seperti robot dimana hidup seperti itu merupakan langkahku untuk melindungi diriku dari sepi. Terlalu takut dengan spontanitas. Terlalu takut lepas kendali. Biarlah. Setidaknya aku tak sendiri. Aku ditemani jam wecker klasik yang selalu membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono
            

0 komentar:

Posting Komentar