Kala Senja di Ratu Boko

merasakan getaran suasana candi boko yang mempesona..

Menembus Waktu dengan Romansa

sebuah desahan mimpi yang sangat menggoda untuk disajikan..

De Britto ...

Sekolah cinta...Sekolah hati..

Gua Tritis...kemolekan yang menawan hati..

sebuah perjalanan menikmati kemolekan Gua Tritis yang patut untuk diulas..

Pantai Indrayanti..pantai pemuas hati..

pantai pasir putih yang memesona..

Senin, 24 Juni 2013

Raga dan Rasaku..

       Seandainya Lena bisa memilih, ia takkan jatuh cinta kepada Derry. Setidaknya itulah yang Lena rasakan selama hampir tiga tahun kedekatan raga mereka di kota impian masa kecil mereka, Paris. Ternyata kedekatan raga mampu mengalahkan ketiadaan emosi. Ia tahu bahwa hubungan mereka tak melibatkan hati. Mereka hanyalah dua manusia kesepian yang butuh teman. Tak ada cinta terungkap. Seharusnya Lena tahu itu. Hingga di suatu akhir minggu, hatinya membubung tak terjangkau akal logikanya.

      Lena terbangun di suatu pagi, membalut tubuhnya dengan selimut yang mereka gunakan sebagai alas untuk bercinta, dan menatap mentari yang telah menanti dan menerobos melalui kaca apartemennya pagi itu. Paginya menjadi semakin cerah ketika ia melihat Derry terduduk di teras apartemen sembari menyesap rokoknya dalam – dalam, bungkus rokok yang tak terpakai yang ia gunakan sebagai asbak, dan sekaleng bir di sisinya. Derry memandang biru langit yang memadu kasih dalam kemuning mentari. Lena tersenyum, menyusul Derry menuju teras apartemennya, mendudukkan dirinya di kursi dengan meja kecil memisahkan keduanya, mengambil dan menyalakan sepuntung rokok sembari membetulkan letak selimut yang mencumbu tubuhnya. Asap rokok mereka pun menari dalam pagi yang mengalun lembut, dan terburai ketika Derry memulai percakapan yang membuat Lena terhenyak.

            “kayaknya aku harus kembali ke Indonesia.”
            “kenapa? Kok tiba – tiba?”
            “ada yang harus kuurus. Senja. Kamu pasti suka sama dia.”
            “oh..temen?”
            Lena menangkap percikan mata Derry yang menatap matanya, senyumnya yang merona. Ia pun paham.
            “kapan mau ke Indonesia?”
            “akhir minggu ini..”

            Percakapan mereka ditutup dalam hening..dengan asap rokok masih menari di atas kepala mereka..



Time flies..6 jam sebelum keberangkatan..mereka terduduk di teras yang sama sembari menyesap rokok dan menikmati tetes air hujan dalam sendunya malam.

            “Senja ya?”
            “iya..”
            “kenal darimana?”
“dulu sebelum aku mutusin cari inspirasi dan tinggal disini, kota aneh yang ternyata ada   kamunya, aku sempat kenalan sama dia di Jogja. Ketemunya waktu dia dibawa sama temenku buat hadir di salah satu pameran lukisanku. Akhirnya sempet jalan bareng juga. Aku rasa sekarang waktunya tepat. ”
“tepat untuk apa?”
“tepat untuk nyusul dia. Nyatuin hati kita. karena memang waktu itu aku masih belum siap untuk berlanjut ke tahap yang lebih serius lagi. Nikah. Gila kan? Ha.ha.. Surat terakhir dari dia buat aku makin yakin sama dia.”
good for you!

Kata terakhir yang Lena ucapkan serasa membuat lidahnya kelu.. senyum pun tak mampu ia lontarkan. Hingga Derry memagut bibirnya, mendekap perempuan itu, dan untuk terakhir kalinya mereka pun bercinta.

Pagi begitu dingin ketika Lena membuka matanya, ia berdiri sembari membalut tubuhnya dengan selimut percintaan mereka. Kamar telah kosong. Lena memandangi sudut – sudut ruangan yang hampa akan aroma Derry. Kamar yang familiar dalam alam pikirnya. Jam dering yang sudah mulai berkarat di atas meja coklat yang sudutnya mulai terkelupas, dinding di satu sudut ruangan yang berwarna kecoklatan. Tanpa Derry.





Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

Minggu, 16 Juni 2013

Cerita di balik senja dalam rinai hujan..

        Dalam senja yang bergelung bersama kelabu awan, terbalut gemuruh Zeus yang menggoda manusia tak bersayap pemijak bumi untuk berlari – lari kecil mencari tempat naungan berteduh. Godaan yang seakan menjadi isyarat ketika para bidadari berdansa bersama rintik air hujan yang turun ke bumi dengan berselimutkan aroma – aroma tanah basah dan bersenandung bersama gugurnya daun – daun yang rapuh karena lekang oleh waktu..

        Di tengah alunan orchestra alam itu, ada seorang ibu dengan barang belanjaan kebutuhan pokok di dalam tas kresek hitam yang tergenggam di tangan kanannya, sedang berteduh di bawah naungan terpal seng usang di selasar sebuah pasar tradisional. Ia menerawang menuju sendunya langit. “ah..hujan..”, katanya dalam hati. Sayup – sayup ia melihat motornya yang diparkir tak jauh dari situ.

        Dalam alunan melody hujan yang semakin tak merintik, alam seolah termangu dengan nafas menderu seorang bocah berusia 7 tahun yang berlari ke arah ibu tadi sembari membawa payung yang penuh dengan tambalan dan baju yang semakin erat memeluknya akibat dekapan air hujan.. Ia berlari berbekal sinar mata yang terkaburkan air dan senyum khas dari gigi – gigi mungilnya.

“Bu..payungnya bu...”
“boleh nak...”

         Ibu itu pun menggenggam pangkal payung, memayungi dirinya, dan anak itu berlari kecil di sebelahnya dengan bermandingan senja dan hujan.

“Sini nak, kita payungan sama – sama...”
“Gak usah bu, ibu aja yang payungan..”
“Gakpapa nak, sini..”

       Ibu itu pun mendekap pundak si anak dan merapatkan ke tubuhnya yang lebih hangat.. tak berapa lama, mereka pun sampai di samping motor si ibu..

“berapa nak?”
“terserah bu..seikhlasnya..”

      Tergerak oleh kelembutan  hatinya, ibu itu merogoh dompetnya dan mengambil uang 5 ribuan sembari meletakkannya ke atas telapak tangan mungil yang menengadah menatap langit. Anak itu terdiam sembari menatap uang itu lekat – lekat.. nominal uang yang sangat jarang ia terima. Bagai kebahagiaan dinamo kecil, ia mengucapkan terima kasih, berlari dengan langkah kegembiraan, dan tangan yang menggenggam uang di udara, ia membelah gerimis dan senja yang semakin menghitam..




Ad Maiorem Dei Gloriam


Amadeus Okky Suryono