Seandainya Lena bisa memilih, ia
takkan jatuh cinta kepada Derry. Setidaknya itulah yang Lena rasakan selama
hampir tiga tahun kedekatan raga mereka di kota impian masa kecil mereka, Paris.
Ternyata kedekatan raga mampu mengalahkan ketiadaan emosi. Ia tahu bahwa
hubungan mereka tak melibatkan hati. Mereka hanyalah dua manusia kesepian yang
butuh teman. Tak ada cinta terungkap. Seharusnya Lena tahu itu. Hingga di suatu
akhir minggu, hatinya membubung tak terjangkau akal logikanya.
Lena terbangun di suatu pagi,
membalut tubuhnya dengan selimut yang mereka gunakan sebagai alas untuk
bercinta, dan menatap mentari yang telah menanti dan menerobos melalui kaca
apartemennya pagi itu. Paginya menjadi semakin cerah ketika ia melihat Derry
terduduk di teras apartemen sembari menyesap rokoknya dalam – dalam, bungkus
rokok yang tak terpakai yang ia gunakan sebagai asbak, dan sekaleng bir di
sisinya. Derry memandang biru langit yang memadu kasih dalam kemuning mentari. Lena
tersenyum, menyusul Derry menuju teras apartemennya, mendudukkan dirinya di
kursi dengan meja kecil memisahkan keduanya, mengambil dan menyalakan sepuntung
rokok sembari membetulkan letak selimut yang mencumbu tubuhnya. Asap rokok
mereka pun menari dalam pagi yang mengalun lembut, dan terburai ketika Derry
memulai percakapan yang membuat Lena terhenyak.
“kayaknya aku harus kembali ke
Indonesia.”
“kenapa? Kok tiba – tiba?”
“ada yang harus kuurus. Senja. Kamu pasti
suka sama dia.”
“oh..temen?”
Lena menangkap percikan mata Derry
yang menatap matanya, senyumnya yang merona. Ia pun paham.
“kapan mau ke Indonesia?”
“akhir minggu ini..”
Percakapan mereka ditutup dalam
hening..dengan asap rokok masih menari di atas kepala mereka..
Time flies..6
jam sebelum keberangkatan..mereka terduduk di teras yang sama sembari menyesap
rokok dan menikmati tetes air hujan dalam sendunya malam.
“Senja ya?”
“iya..”
“kenal darimana?”
“dulu
sebelum aku mutusin cari inspirasi dan tinggal disini, kota aneh yang ternyata ada kamunya, aku sempat kenalan sama dia di
Jogja. Ketemunya waktu dia dibawa sama temenku buat hadir di salah satu pameran
lukisanku. Akhirnya sempet jalan bareng juga. Aku rasa sekarang waktunya tepat.
”
“tepat
untuk apa?”
“tepat
untuk nyusul dia. Nyatuin hati kita. karena memang waktu itu aku masih belum
siap untuk berlanjut ke tahap yang lebih serius lagi. Nikah. Gila kan? Ha.ha.. Surat
terakhir dari dia buat aku makin yakin sama dia.”
“good for you!”
Kata
terakhir yang Lena ucapkan serasa membuat lidahnya kelu.. senyum pun tak mampu
ia lontarkan. Hingga Derry memagut bibirnya, mendekap perempuan itu, dan untuk
terakhir kalinya mereka pun bercinta.
Pagi
begitu dingin ketika Lena membuka matanya, ia berdiri sembari membalut tubuhnya
dengan selimut percintaan mereka. Kamar telah kosong. Lena memandangi sudut –
sudut ruangan yang hampa akan aroma Derry. Kamar yang familiar dalam alam
pikirnya. Jam dering yang sudah mulai berkarat di atas meja coklat yang
sudutnya mulai terkelupas, dinding di satu sudut ruangan yang berwarna
kecoklatan. Tanpa Derry.
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono