Pagi ini tanggal 15
Oktober 2017, Gereja memperingati hari pangan sedunia. Mgr Ignatius Suharyo
melalui surat gembalanya menyampaikan pentingnya kepedulian akan 37% anak balita
Indonesia yang kekurangan gizi, dimana di sisi lain sekitar 28% hanya di
wilayah Jakarta dan sekitarnya, merupakan masyarakat obesitas (asupan kalori
> kebutuhan tubuh). Suharyo menyampaikan bahwa kita sebagai masyarakat
gereja perlu menekankan kepada anak – anak ataupun diri sendiri akan pentingnya
menghargai sebuah makanan. Makanan yang tidak habis termakan, atau membuang –
buang makanan sama saja dengan merampok makanan dari orang miskin dan
kekurangan gizi. .
Tak lama setelah Misa, di depan
gerbang gereja telah menunggu seorang yang tak ingin kalah akan kondisi fisik
yang ia alami, seorang yang berjuang hari demi hari untuk mencukupi rasa lapar
dan dahaga di bawah terik mentari dengan menjajakan kerupuk dan suara yang lantang
membelah nurani dari masing – masing individu yang melewatinya. Ia berbekal
tongkat sebagai mata, dan hati sebagai pembakar semangat. Seorang pedagang tunanetra
kerupuk keliling itu sepertinya tak pernah memperdulikan gizi yang diutarakan
di dalam gereja tadi. Asalkan perut kenyang, ia bisa hidup untuk hari itu, itu
sudahlah cukup.
Tak jauh dari situ, di sebuah
restoran yang ber pendingin ruangan, Seorang wanita cantik sedang berfoto
dengan handphone terbaru seharga belasan juta, tertawa bersama teman – temannya
(seorang manusia yang memang benar – benar ingin menjadi temannya atau hanya
sebagai “sarana” penghabis waktu) dan mengupload hasil fotonya bersama teman –
temannya agar eksis di media sosial, agar followernya bertambah, agar orang –
orang kagum dan iri akan kehidupannya yang begitu “sempurna”. Sepulang bermain
dengan teman – temannya, di balik bilik kamarnya, ia merasa kosong. Kesepian,
kesendirian, rasa ingin eksis menjadi “masalah utama” dalam kesehariannya. Ia
pun memesan makanan – makanan yang enak ataupun membeli barang – barang fashion dan aksesoris
terkini sebagai pelariannya dan menjadikannya bahan untuk eksis di media sosial.
Sering, kelimpahan yang ia terima dirasa belum cukup.
Seorang tunanetra penjaja kerupuk
tadi begitu mensyukuri hidup dan menjalaninya dengan sepenuh hati melalui
semangatnya menjual kerupuk dengan suara lantang di tengah segala
keterbatasannya. Ia pantang menyerah pada keadaan, terbiasa menyelesaikan
masalah – masalah pelik dalam hidupnya menjadikan hatinya sekeras baja dan
terus bergerak maju apapun yang terjadi. Perbedaan itu sangat khas terhadap
wanita cantik di atas, dimana masalah terberatnya sehari – hari “hanyalah”
takut kesepian, sendirian, dan tidak eksis di media sosial.
Tuhan
terus mengingatkan kita untuk selalu membuka mata hati kita dan mengingatkan
kita untuk terus bersyukur atas segala kebaikan atau keburukan yang terjadi di
dalam hidup kita. Kita terus dilatih untuk melihat Tuhan yang hadir di dalam
diri sesama kita yang menderita. Kita pasti menemukan para pedagang kecil di
sepanjang jalan ibukota, baik itu berfisik sehat ataupun penyandang disabilitas
yang tidak mau menyerah akan kondisi yang menimpanya. Anak kecil yang duduk
termenung di depan sebuah mall mewah, sembari terdiam menjaja keripik peyek , dimana orang – orang kaya
berlalu lalang dengan mobil mewahnya, menggerutu karena pelayanan yang kurang
baik dari sebuah store.
Compassion,
sebuah kata yang sering diajarkan kepada kita untuk terus melatih hati kita dan
tergerak akan rasa simpati terhadap kesulitan orang lain. Kita memang tak
begitu menginginkan untuk makan kerupuk, atau keripik peyek yang dijual anak kecil itu,tetapi paling tidak kita bisa
membantu meringankan perjuangan hidup mereka dengan tindakan nyata, menyisihkan
sebagian kecil uang kita untuk membeli dagangan mereka, dan bukan hanya berkoar
– koar akan pentingnya berbuat baik, tetapi tidak melakukan tindakan nyata yang
menolong sesama.
Karena
Yesus pernah berkata, “jika kamu melakukan sesuatu untuk saudaraku yang paling
hina ini, kamu melakukannya untuk Aku..”
Ket Gambar : Tunanetra Penjaja Kerupuk
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono