Jumat, 03 Agustus 2012

Masa Kecil Kurang Bahagia?


Sumber gambar : www.google.com  

     “ Sariii...ayo sudah siang, dimatiin dulu Blackberry- nya, sini makan sop kesukaanmu nak..”, pinta ibu yang terduduk di meja makan bersama Rani, kakak Sari sembari menuangkan sop bakso kesukaan Sari ke atas piring Rani. Tetapi Sari tak bergeming. Ia terus menatap dalam – dalam sembari tersenyum cekikikan menatap layar Blackberry-nya di dalam kamarnya yang mungil. Sekelumit kisah diatas membawaku ke alam masa kecilku dulu. Sebuah masa dimana aku yang masih berseragam putih merah, dengan antusiasnya berlompatan kian kemari hanya karena aku berhasil menyisihkan tabunganku untuk membeli tazoz yang banyak ditemukan di dalam snack, kemudian memamerkannya kepada teman – teman sepergaulan serta memainkannya dengan meletakkannya di antara telapak tangan kananku, serta tos! Pemenangnya ditentukan lewat gambar pokemon dalam tazoz tersebut menengadah ke atas atau tertungkup di tanah yang berarti kalah. 

     Hari berganti petang, ketika seragam putih merahku berganti kaos santaiku, kuraih mobil – mobilan tamiya ku yang kubeli seharga 11 ribu rupiah dari berbulan – bulan aku menyisihkan uang jajanku, dan kupamerkan dengan gaya khas anak kecil yang bangga ketika mainannya ternyata lebih “menyala” dibandingkan dengan mainan teman – temannya. Para serdadu kecil itu pun menyusun trek – trek buatan dan saling mengadu kecepatan dari tamiya – tamiya kami sembari dibalut suasana kehangatan dan alunan merdu dari persahabatan.

     Sejenak, aku mulai menyadari bahwa zaman telah berubah begitu cepat. Ketika kulihat anak – anak seperti Sari begitu “bahagia” dalam permainan Blackberry-nya di kamarnya yang mungil, jauh dari aura kehangatan yang sebenarnya. Zaman ketika seorang anak kecil tak menghadapi serunya permainan bersama teman – teman nya yang menyatu bersama tawa riuh dari para pemenang cilik serta belajar untuk berjiwa besar mengalami pahitnya kekalahan sejak dini. Zaman ketika para serdadu cilik itu belajar bersikap apatis terhadap hal – hal baru di sekitar mereka, dan hanya memperdulikan aplikasi – aplikasi modern yang lebih seru dan semakin menjauhkan mereka dari dunia sosial yang sesungguhnya.

     Peran orang tua menjadi sektor penting dalam kontrol anak sejak dini, dimana di usia mereka, bagaimana para orang tua dapat mengasah ide untuk menanamkan jiwa petualang si anak agar tidak hanya terpekur di antara bayang – bayang layar alat digital tersebut. Kebijakan untuk memanjakan anak dengan berbagai kemudahan fitur dari perangkat itu perlu dilaksanakan secara selektif apakah menunjang pertumbuhan anak atau tidak. Jika ternyata perangkat canggih tersebut justru membuat anak menjadi makhluk antisosial, apa gunanya perangkat jutaan rupiah tersebut? Bagaimana wajah generasi muda Indonesia di masa depan jika hati menjadi semakin beku, dan tak adanya pengalaman – pengalaman sosial yang mampu menunjang mereka untuk semakin memahami persahabatan, kemenangan maupun kekalahan dalam hidup? Apakah ini yang disebut sebagai masa kecil kurang bahagia?



Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

0 komentar:

Posting Komentar