Anjing..sebuah kata yang memiliki
dua perspektif yang mendalam, tergantung bagaimana kita merasakannya.
perspektif pertama, sebuah kata yang seringkali mampu mewakilkan pelampiasan
suatu rasa jengkel atau marah kepada seseorang dengan jalan merendahkannya bahwa
dirinya sama akan seekor anjing.. suatu “penurunan kasta” dari manusia menjadi
binatang sehingga cukup untuk “menyakiti” si penerima dibarengi dengan hentakan
intonasi yang menari bersama kerutan seringai ekspresi wajah..perspektif kedua,
kata anjing mampu melekatkan hubungan persahabatan dengan intonasi dan timing yang tepat, seolah ikut
menghadirkan keberadaan si penerima sebagai seekor anjing yang loyal, sayang
akan “tuannya” sehingga kehangatan antara dua sahabat pelontar kata anjing
semakin terasa..
Lalu bagaimana tingkah anjing
sesungguhnya dibalik kedua perspektif diatas? Sifat anjing memang berbagai
macam. Agresif ataupun jinak, dengan melantunkan gonggongan – gonggongan
kebanggaan mereka dengan tujuan mencurigai orang asing yang masuk ke halaman
tuannya, ataupun sekedar sebagai lagu kebahagiaan untuk menyambut tuannya yang
telah pulang ke rumah.. well,
definisi gonggongan pun juga tergantung kita mengartikannya. Aku memiliki
sebuah cerita tentang gonggongan anjing yang mampu menjadi pengingat di dalam
warna warni kehidupan kita dalam berhubungan dengan manusia.
Aku tinggal di sebuah kos - kosan, dimana di dalamnya terdapat 10 kamar
yang ditinggali dengan berbagai variasi manusia. Pemilik kosku memiliki seekor
anjing besar yang sangat ramah dengan manusia, bahkan seorang asing pun yang
melintas di depannya akan ia endus dan berdiri dengan dua kaki belakangnya
sembari dua kaki depannya nangkring di
badan sang manusia. Anjing tersebut akan terus melantunkan gonggongan ramahnya dan
menghentikan gonggongannya ketika mereka telah berhasil nangkring di badan sang manusia atau manusia bersedia untuk sekedar
mengelus – elusnya. Spontan, para manusia yang disambut seperti itu pun tak
tahan untuk sekedar mengelus kepalanya sebagai balasan akan keramahan dan
keantusiasannya. Hingga suatu hari, ada seorang teman yang bermain ke kosku dan
ia jarang bertemu dengan anjing. Pada awalnya, ia pun disambut antusias oleh
anjing tersebut dengan gonggongannya sembari meloncat kesana kemari dan tak
memperdulikan rantai besi yang mengikatnya.. spontan, temanku pun kaget dan
berteriak kepada si anjing agar diam sembari memukul kepalanya dengan tangan.
Anjing tersebut tetap menggonggong karena “misi”nya belum berhasil. Gonggongan anjing
pun ditangkap temanku sebagai suatu ancaman. Di sisi lain, anjing tersebut
menggonggong untuk menyambut temanku dengan antusias seperti biasa. Untuk
menghentikan “pertengkaran” tersebut, aku berinisiatif untuk mengelus kepala si
anjing. Dan anjing itupun diam.
“pertengkaran” seekor anjing dengan
manusia di atas sangat sering kita jumpai di dunia nyata. Tetapi bedanya bahwa
pertengkaran ini tentu antara manusia dengan manusia. Pertengkaran dan
kebencian terjadi karena kedua belah pihak tak bersedia untuk saling memahami
apa yang menjadi keinginan dari pihak lain. Di satu pihak menginginkan apa yang
dirasa terbaik bagi hubungan mereka dan berusaha untuk menjejalkannya kepada
orang lain, di lain pihak mempersepsikannya sebagai suatu hal lain yang
“dirasa” merugikan. Solusi terbaik pun tak tercapai dan pertengkaranpun tak
terhindarkan. Hambatannya adalah pada pikiran dari pihak – pihak tersebut yang
mengambil sebuah persepsi yang tak sesuai dan merespon berdasarkan persepsi
salah di kepala mereka. Alangkah lebih mudah ketika pikiran mengikuti kata hati
dimana hati tak pernah salah, mengesampingkan ego akan anggapan diri kita lebih
baik atau lebih tau dibanding orang lain dan menyambut segala hal yang terjadi
pada kita sebagai suatu hal yang positif meskipun terkadang diri kita didera
beberapa hal negatif. Mulai dari situlah
kita dapat menghindari pertengkaran dan menemukan kedamaian dalam diri maupun
dalam hubungan dengan sesama..
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono
0 komentar:
Posting Komentar