Senin, 18 Maret 2013

Cuapan makhluk putih merah..


      Pejamkan matamu..bayangkan sosok mungilmu dengan bangga merapikan baju putih yang berdampingan dengan bawahan (celana/rok) merah, membenarkan tas ransel agar layak untuk memeluk punggungmu, kamu melompat dan terduduk di jok belakang motor ayahmu sembari jemari kecilmu berusaha untuk mendekap jaket yang membalut ayah di kemurnian pagi. Motor yang dipacu perlahan juga turut mewarnai jalanan yang hanya berwarna abu – abu. Hingga sampai di sekolah dasar yang kamu harapkan mampu membawa imajinasimu membubung jauh melebihi relung – relung logika.

       Kaki – kaki kecil berhamburan untuk menyambut pelajaran pertama yang menjadi awal dari perjalanan panjang...yang katanya...untuk mengeruk pengetahuan.. dimana kelak entah pengetahuan yang berkembang terkadang menjadi awan kelabu untuk melihat kebenaran.. Kurikulum sekolah dasar mulai membentangkan sayapnya dan menyapa hati para makhluk mungil dengan caranya yang dianggap benar.. melalui berbagai pelajaran dan menekankannya dalam pelajaran moralitas dan agama..dimana pada mulanya, mereka...para orang yang merasa telah dewasa dan menduduki jabatan – jabatan penting dalam dunia pendidikan menganggap dirinya mampu menjadi pembimbing bagi jiwa – jiwa berbaju putih merah tanpa noda dalam pikiran. Mampukah mereka? Waktu pun  semburat berlalu, penanaman moral melalui berbagai pelajaran agama yang mereka berikan justru sering menimbulkan benih – benih pola pikir negatif dalam pandangannya dengan sesama agama lain. Makhluk mungil itu pun ternoda..

     Bagaimana jika sesuatu yang sakral ini tak perlu dijadikan kurikulum? Untuk memberikan celah bagi makhluk mungil pewarna jalanan abu – abu ini dalam membuka pikiran dan secara sadar memiliki pilihan bagi pikiran kecilnya untuk menghirup rasa damai yang menjadi tujuan utama dari masing – masing agama. Tak bisakah?
   
     Waktu pun berlalu menemani perkembangan fisik dan  pengetahuan dari para makhluk putih merah.. sembari terpeluk oleh agama yang pada masa kini disebarkan oleh para pemeluk agama apapun yang mulai tidak bertanggung jawab dengan terlalu memperdulikan keduniawian, sehingga pesan – pesan moral pun tersampaikan secara kelam dan tak tentu arah.. mereka berjalan, tertatih dengan tugas – tugas yang menumpuk dari tempatnya mengorek ilmu tanpa ada rasa kepedulian untuk mengolah hati, mencerna kreativitas, khawatir akan masa depan dan dihantui masa lalu, dan ditinggalkan oleh kandungan kebahagiaan.

      14 tahun berlalu.. makhluk mungil berbaju putih merah pun menginjak perguruan tinggi..dengan rutinitas pencumbuan dengan tugas yang tak berubah..dengan hati yang terbelenggu ketakpedulian..serta agama yang ikut – ikutan memberikan kebosanan yang tak kunjung mencerahkan..media sosial yang tak mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kemunafikan dan pembodohan serta kondisi negara yang tak kunjung bergandengan tangan untuk bersatu dalam satu tujuan. Relakah kehidupan kita digerakkan oleh pemikiran orang lain yang merasa benar tetapi berujung kepekatan di ujung jalan? Relakah kita menyerahkan tombol control kita kepada pemuka – pemuka agama yang semakin tak jelas juntrungannya, kepada lembaga pendidik yang tak menyeimbangkan otak dan hati dalam kurikulumnya, berbagai media sosial yang memberitakan hal – hal yang tak masuk akal baik akal pikiran maupun akal hati serta para pejabat pemerintah yang tak kunjung membuka mata akan kesejahteraan bangsanya dan mengesampingkan kepentingan golongannya? Relakah kita menjadi makhluk yang hanya peduli dengan masalah kita dan menutup hati akan masalah orang lain padahal kita berada pada satu rumah dan atap yang sama yakni langit? Relakah kita membiarkan mereka, para penyebar noktah kehidupan untuk terus menerus memberikan makanan basi bagi pikiran kita dengan berbagai cara?


Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

0 komentar:

Posting Komentar