Pejamkan matamu..bayangkan sosok
mungilmu dengan bangga merapikan baju putih yang berdampingan dengan bawahan
(celana/rok) merah, membenarkan tas ransel agar layak untuk memeluk punggungmu,
kamu melompat dan terduduk di jok belakang motor ayahmu sembari jemari kecilmu
berusaha untuk mendekap jaket yang membalut ayah di kemurnian pagi. Motor yang
dipacu perlahan juga turut mewarnai jalanan yang hanya berwarna abu – abu. Hingga
sampai di sekolah dasar yang kamu harapkan mampu membawa imajinasimu membubung
jauh melebihi relung – relung logika.
Kaki – kaki kecil berhamburan untuk
menyambut pelajaran pertama yang menjadi awal dari perjalanan panjang...yang
katanya...untuk mengeruk pengetahuan.. dimana kelak entah pengetahuan yang
berkembang terkadang menjadi awan kelabu untuk melihat kebenaran.. Kurikulum
sekolah dasar mulai membentangkan sayapnya dan menyapa hati para makhluk mungil
dengan caranya yang dianggap benar.. melalui berbagai pelajaran dan
menekankannya dalam pelajaran moralitas dan agama..dimana pada mulanya,
mereka...para orang yang merasa telah dewasa dan menduduki jabatan – jabatan penting dalam dunia pendidikan menganggap dirinya mampu menjadi pembimbing bagi jiwa – jiwa berbaju putih
merah tanpa noda dalam pikiran. Mampukah mereka? Waktu pun semburat berlalu, penanaman moral melalui
berbagai pelajaran agama yang mereka berikan justru sering menimbulkan benih –
benih pola pikir negatif dalam pandangannya dengan sesama agama lain. Makhluk mungil
itu pun ternoda..
Bagaimana jika sesuatu yang sakral
ini tak perlu dijadikan kurikulum? Untuk memberikan celah bagi makhluk mungil
pewarna jalanan abu – abu ini dalam membuka pikiran dan secara sadar memiliki
pilihan bagi pikiran kecilnya untuk menghirup rasa damai yang menjadi tujuan
utama dari masing – masing agama. Tak bisakah?
Waktu pun berlalu menemani perkembangan fisik
dan pengetahuan dari para makhluk putih
merah.. sembari terpeluk oleh agama yang pada masa kini disebarkan oleh para
pemeluk agama apapun yang mulai tidak bertanggung jawab dengan terlalu
memperdulikan keduniawian, sehingga pesan – pesan moral pun tersampaikan secara
kelam dan tak tentu arah.. mereka berjalan, tertatih dengan tugas – tugas yang
menumpuk dari tempatnya mengorek ilmu tanpa ada rasa kepedulian untuk mengolah
hati, mencerna kreativitas, khawatir akan masa depan dan dihantui masa lalu,
dan ditinggalkan oleh kandungan kebahagiaan.
14 tahun berlalu.. makhluk mungil
berbaju putih merah pun menginjak perguruan tinggi..dengan rutinitas pencumbuan
dengan tugas yang tak berubah..dengan hati yang terbelenggu
ketakpedulian..serta agama yang ikut – ikutan memberikan kebosanan yang tak
kunjung mencerahkan..media sosial yang tak mendukung kebenaran dan menjunjung
tinggi kemunafikan dan pembodohan serta kondisi negara yang tak kunjung
bergandengan tangan untuk bersatu dalam satu tujuan. Relakah kehidupan kita
digerakkan oleh pemikiran orang lain yang merasa benar tetapi berujung
kepekatan di ujung jalan? Relakah kita menyerahkan tombol control kita kepada pemuka – pemuka agama yang semakin tak jelas
juntrungannya, kepada lembaga pendidik yang tak menyeimbangkan otak dan hati
dalam kurikulumnya, berbagai media sosial yang memberitakan hal – hal yang tak
masuk akal baik akal pikiran maupun akal hati serta para pejabat pemerintah
yang tak kunjung membuka mata akan kesejahteraan bangsanya dan mengesampingkan
kepentingan golongannya? Relakah kita menjadi makhluk yang hanya peduli dengan
masalah kita dan menutup hati akan masalah orang lain padahal kita berada pada
satu rumah dan atap yang sama yakni langit? Relakah kita membiarkan mereka,
para penyebar noktah kehidupan untuk terus menerus memberikan makanan basi bagi
pikiran kita dengan berbagai cara?
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono
0 komentar:
Posting Komentar