Auclair, seorang pria berusia 64
tahun dengan rambut cepak beruban yang dimilikinya, serta keriput yang menemani
sepi hari – harinya, sedang terduduk di tangga teras rumahnya yang di design
dengan ukiran – ukiran khas jawa di setiap sudutnya dan menambah kesan
sederhana dari rumah tak berpagar ini. Pikirannya berkelana semenjak tadi pagi
ketika ia ditawari untuk mengurus seekor
anak anjing dari seorang teman yang memiliki beberapa anjing di dalam rumahnya.
“untuk menemani sepi”, katanya. Auclair yang hanya menempati rumah sederhana
yang dibeli dari tangan sahabatnya 40 tahun lalu semenjak dirinya memutuskan
untuk meninggalkan Prancis dan tinggal di Indonesia ini pun langsung mengiyakan
tawaran tersebut sembari menyambut dengan secercah angan mengenai hal – hal apa
saja yang dapat ia lakukan dengan hadirnya anak anjing coklat tua yang baru
berusia 1 bulan ini. “bruno..aku namai ia bruno..”, katanya dalam hati.
Semenjak hari pertama kedatangan bruno
yang ia letakkan di salah satu ruangan tak terpakai selama proses adaptasinya
untuk bernyanyi bersama dunia, hatinya yang kerut dan kosong selama bertahun –
tahun sejak keputusannya untuk memilih tak menikah 30 tahun yang lalu akibat
ditinggal lari pacar dalam hubungan yang telah dirajutnya selama 5 tahun dan
justru memilih bertunangan dengan orang lain itu kini seolah bersemi kembali.
Gayanya yang lincah, gonggongan yang menggemaskan, seakan menjadi pewarna hari
– hari pensiunnya yang kelabu
6 bulan berlalu, bruno berubah
menjadi seekor anjing remaja yang selalu meloncat dengan antusias tatkala auclair
kembali ke rumah serta menyambutnya dengan hangat. Tak peduli apapun hal
negatif yang dunia katakan padanya, tak peduli seburuk apapun para manusia
sibuk mempertentangkan kepentingan – kepentingan mereka sendiri di luar rumah
sederhananya, tak peduli apa yang para tetangga katakan tentang keberadaan
anjingnya selama 6 bulan terakhir, dimana kerisihan mulai melanda dan
sensitifitas negatif akan anjing mulai meradang, seolah tanpa memperdulikan
semuanya itu, bruno dengan insting murninya tetap melompat dan memeluk satu
sisi kaki auclair sembari menjulurkan lidahnya hingga mendapatkan beberapa
elusan di kepala yang ia rindukan dari tuannya meski hanya berpisah beberapa
saat.
Hari dan bulan pun berlalu, dengan
balutan waktu tubuh mungil bruno telah menjelma menjadi seekor anjing dewasa
yang tegap dan berotot, menjalankan tugas rutinnya untuk membagikan cinta
kepada tuannya, berlari kesana kemari dengan bunyi gemerincing dari lonceng
yang menempel di kalung leher yang bertuliskan nama bruno di atasnya. Rumah
sederhana itupun dalam kurun waktu setahun telah berevolusi menjadi sanctuary bagi mereka berdua.
Hingga suatu hari, sebuah keputusan
diambil dari para tetangga yang merasa risih dengan bruno meskipun keberadaannya
tak mengganggu keseharian mereka. Para tetangga masih belum merasa menyatu akan
hidup mereka yang berdampingan dengan anjing di lingkungan rumah mereka. Dan
dongeng mereka berdua pun harus berakhir. Bruno harus dijual, dimana pada
umumnya anjing yang dijual juga akan berakhir pada tempat penjagalan. Pilihan
kedua adalah mereka yang membuangnya, membiarkannya terseok dalam kedengkian
jalanan seperti anjing – anjing liar lainnya. Auclair pun merasa patah hati,
seolah hatinya yang berkerut dan lelah seolah tak mampu lagi menampung rasa
sakit yang masih ada sepeninggal kekasihnya. Tetapi keputusan para tetangga
sudah bulat. Pikirannya pun terbersit untuk menjual rumah sederhananya dan
tinggal di rumah yang lebih kecil lagi dengan bruno di sampingnya. Tetapi ia
begitu cinta akan rumah yang telah menjadi saksi berpuluh – puluh tahun
kehidupannya termasuk berperan dalam saksi biksu percintaannya dengan
kekasihnya. Ia pun juga teringat akan janjinya kepada sahabatnya untuk
mencintai rumah ini sebagaimana ia mencintai dirinya. Dengan mata berkaca –
kaca, ia pun memutuskan untuk menyerahkan bruno, sahabat yang telah menempati
ruang kosong di sudut hatinya yang merapuh. Bahkan air mata pun tak sanggup
mewakili apa yang ia rasakan saat ini.
Seminggu telah berlalu, tanpa bruno
yang melompat di satu sisi kakinya, tanpa bruno yang begitu antusia
mencintainya. Dan satu – satunya kenangan yang tak akan ia lepaskan hanyalah
lonceng yang dulu bersenandung tatkala menghiasi leher bruno. Lonceng yang akan
selalu ia bawa kemanapun, meskipun menimbulkan bunyi gemerincing yang berisik.
Meskipun menjadi suatu hal yang aneh ketika seorang manusia akan bergemerincing
setiap langkah ia berjalan dan menjadi gosip para tetangga yang mulai
menganggapnya autis. Lonceng itu tetap menggenggam dalam tangannya. Dan ia
takkan pernah melepaskannya.. takkan pernah..
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono