Kala Senja di Ratu Boko

merasakan getaran suasana candi boko yang mempesona..

Menembus Waktu dengan Romansa

sebuah desahan mimpi yang sangat menggoda untuk disajikan..

De Britto ...

Sekolah cinta...Sekolah hati..

Gua Tritis...kemolekan yang menawan hati..

sebuah perjalanan menikmati kemolekan Gua Tritis yang patut untuk diulas..

Pantai Indrayanti..pantai pemuas hati..

pantai pasir putih yang memesona..

Rabu, 23 Oktober 2013

Journey..

           Ia memandang nanar di tepian langit – langit kamarnya.. bersetubuh dengan waktu yang tak lagi menggairahkannya.. kekasih jiwanya telah pergi.. sembari menggandeng lelaki yang juga menjelma menjadi sahabat terbaiknya.. mereka berdua telah tenggelam bagaikan senja yang luruh dalam barisan bintang.. mereka telah tiada.. tetapi ketiadaan mereka menyisakan ruangan kosong dalam rongga hatinya yang telah begitu banyak meneteskan darah..bahkan tetesannya melebihi darah yang sekarang mengalir akibat sayatan – sayatan di tangannya dan membentuk dua buah nama.. Putri dan Rico..

        Jeritan pilunya membelah malam .. Ia merasa semesta mempermainkannya dan membuatnya tak lagi mempercayai cinta. kosong..kelam.. hingga ia berada di suatu titik dimana ia tak merasakan apapun..

            Darah terus menetes bersama buliran waktu.. hingga ia pun tak merasakan sakit fisik apapun..dengan sisa tenaga yang ia punya.. ia membuka pintu rumah, dimana merupakan satu – satunya penghalang antara dirinya dan semesta yang menantinya di luar.. bersekongkol untuk membahanakan tawa mereka..

            Ia membuka pintu..udara beku di bawah langit Sahara semakin menusuk hati yang hitam dan tak lagi merasakan apa – apa.. dengan darah yang masih menetes tetapi berkurang intensitasnya karena memang ia masih diliputi ketidakberuntungan karena ia menyayat tak begitu dalam..dan dengan bertelanjang kaki, telapak kakinya mulai bercumbu dengan lautan pasir.. ia mulai meniti langkah.. berbekal mata yang menatap ke satu titik tetapi terkabutkan akan gumpalan air yang memenuhi rongga matanya yang memanas.. suatu kondisi dimana ia selalu bersahabat dengannya...

            Ia berjalan lunglai menuju bukit pasir terjauh dalam pandangan matanya..sembari berteriak pilu akan dua nama yang tergores menganga dalam luka di tangannya..para tetangganya menahannya.. ia hanya bisa meronta..dan menjerit..”lepaskan aku!”

            Berjam – jam para tetangga berusaha menahan tubuhnya yang masih terus meronta.. “ah.. ia telah pergi dan takkan kembali..”, kata salah seorang tetangganya.. satu per satu mereka melepaskan cengkeramannya dalam tubuhnya..hingga tak ada seorang pun yang menahannya.. Ia bangkit berdiri dengan mata yang nanar..ia melangkahkan langkah pertamanya.. dan mulai berjalan..menuju bukit pasir terjauh dalam pandangan matanya..

            Hari telah beranjak pagi dalam balutan mentari yang tersipu malu..mentari yang seolah bersinar dan bahagia melihatnya saat ini..dan terus tertawa cerah.. lelah..dan capai hingga tergantikan oleh tawa sang rembulan.. berbulan – bulan  ia tetap berjalan..selangkah demi selangkah..menyusuri Sahara yang dingin membeku ketika malam tiba..dan masih berteriak pilu akan dua nama yang terukir dalam luka di tangannya yang semakin mengering..

            Hingga suatu hari.. ia menemukan satu pohon tua yang berdiri agak condong ke barat.. dan pohon itu yang hidup di tengah padang pasir yang tandus.. berdiri sendiri dan terbalut sepi.. Ia pun terduduk di bawah pohon itu.. pohon yang tak berdaun.. yang hanya memiliki beberapa ranting – ranting tua andalannya.. dan Ia menemani pohon tua itu..

               Ia merasakan suatu kedamaian yang luar biasa..

          Ia merasakan terik mentari yang menyengat kulitnya yang terbakar dan terkelupas akibat hujan mentari dan bekunya malam yang ia terima setiap hari.. 

            Ia merasakan angin panas menerpa jalur – jalur air mata yang telah mengering pada wajahnya..

            Dan yang mengagetkannya adalah..

            Ia mampu kembali merasa..

         Ia menjeritkan untuk terakhir kalinya kedua nama itu.. jeritan yang panjang..hingga angin membawa gema suaranya terbang menuju khayangan..

           Ia berkata lirih,”tunggu gema suaraku.. jangan tinggalkan aku sendiri disini bersama pohon tua ini..aku ingin menyusulmu..”

            Dan ia mendapatkan keberuntungan pertamanya ..

            Ia tak lagi merasakaan apa – apa lagi..

Selamanya..



Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Jumat, 18 Oktober 2013

Oase..

Tahukah kamu, manis...
Kehadiranmu saat ini bagaikan oase yang tersembunyi di balik bukit padang pasir...
Oase yang memberikanku tujuan di setiap helaan nafasku..
Selepas bergelung bersama rintihan fatamorgana..
Selepas ter-bisa-kan ular derik yang mengintaiku sebagai mangsa..
Selepas pertarunganku dengan pelukan – pelukan mentari yang buatku terbakar setengah mati...

            Kamu..oaseku..
            Yang mampu membasahi keringnya kerinduanku akan kamu di setiap rajutan mimpi –
            mimpi indahku...
Yang mampu menambal patahan dan retakan di setiap nadiku yang mulai haus akan detakkan namamu..
Yang terombang – ambingkan godaan dari makhluk – makhluk melata dan berusaha ‘tuk memilikimu seluruhnya..

Memang..
Pada awalnya kusingkirkan egoku..
Kuabaikan dahagaku tentangmu..
Kuhempaskan hasrat untuk terninabobokkan alunan suaramu..
Agar kamu, sang oase..
Mampu menebarkan percik kasihmu dalam detakan makhluk penghuni padang pasir yang berego tinggi ‘tuk menikmati sesapan demi sesapan bersamamu..
Dan biarlah aku menjadi penikmat terakhirmu..
           
            Aku..
            Sosok yang hanya bisa berdiri mematung ke arahmu..
            Sembari berharap dari jauh akan setetes harapan yang tersisa darimu..
            Masih ada..
            Masih ada...
            Ya... masih ada..
            Dua buah kata yang terus kugaungkan dalam alam pikirku..
Hingga kata yang bergaung itu justru berteriak nestapa dalam langit yang semakin membiru..
Dan aku terjerembab diatas pasir yang membakar setiap sel dalam kulitku..
Meronta dan mengharap pada kamu yang bertransformasi menjadi ilusi yang menguap entah kemana..

Ah..
Kurasa akhir ceritaku bukanlah seperti Aladin dan Delilah..
Yang saling menebar senyum dan bercumbu dalam romantika pandangan sepasang kekasih yang berpendar kebahagiaan..
Yang tinggal di dalam istana dengan puja puji para pelayan..
Meskipun istana itu berdiri kokoh diantara makhluk – makhluk padang pasir yang rela mencederakan hatinya untuk melihat mereka berdua menderita..
Bukan...bukan itu..

            Aku?
            Seorang yang kehilangan cerita yang indah -  indah..
Seorang yang terkubur bersama lautan padang pasir dan hujan air mata yang menguap terbawa angin..
            Seorang yang terinjak oleh tawa kosong makhluk penghuni padang pasir..
Seorang yang menatap jauh sebongkah mentari yang terbit di langit mata sang kekasih dan berharap akan tenggelam di langit matanya..
Seorang yang begitu mendamba sang oase di pangkuannya..
Oase yang menjadi kekasih jiwanya..



Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono 

Sabtu, 12 Oktober 2013

Air Mata dari Langit

            Ayu.. sebuah nama yang menyiratkan kesederhanaan.. bukan nama metropolis yang ke-barat-barat-an seperti Keisha, Cindy, Pamela, Jessica..dimana konon.. semakin ke barat sebuah nama, semakin keren dan kece orangnya.. bukan.. bukan itu semua.. tetapi nama yang merasuk dalam budaya rakyat jawa.. Ayu, dimana dalam bahasa jawa yang berarti cantik..dan kecantikannya memang seperti mutiara yang berpendar di dasar laut tak terjamah..anggun dan bersinar di tengah lingkungannya yang semakin menghitam..

            Ayu..gadis kecil berusia 5 tahun yang tinggal di pedalaman Saptosari..berlari dengan kaki telanjang dan bercumbu dengan lumpur tanah merah khas kota Wonosari.. sembari menyambut gerimis putih  bersama alunan embun pagi sebagai penghibur pertama kemarau yang panjang dan melelahkan,  mengangkat wajahnya..memejamkan mata polosnya..ia menikmati..untuk sejenak..air mata dari langit..bagai seorang sahabat yang tak bertemu sekian lama... ya.. sahabatnya bukan gadget, bukan Teddy bear.. tetapi air mata dari langit..

            “simboook... langit’e nangiiiis...” (buu, langit menangis), katanya sambil berteriak kepada ibunya yang berlari – larian mengambil baju jemuran yang mulai tersibak angin bercampur rintik hujan..

            “iyoo nduuk” (iya nakk..), jawab ibunya singkat..

        “aku yo kepingin nangis mboook..ngancani langit..” (aku juga mau  nangis bu.. menemani langit), katanya sembari mengusap matanya yang lebih basah dari rintik hujan yang bersetubuh dengan merahnya tanah..

            Ia terduduk di tanah..dress merah lusuh yang dipakainya semakin basah oleh gerimis yang menari di atas kepalanya..air matanya semakin mengalir..tangisannya semakin menjadi..tangan – tangan mungilnya menggenggam tanah berlumpur di sisi kiri – kanannya.. Ia tak lagi peduli dengan semakin membekunya udara pagi itu..

            Ibunya berlari menghampirinya...memeluk dan berusaha menghangatkannya dengan hangat tubuhnya..mengangkat dan membawanya ke dalam pondok kayu mereka..mengelap tubuh anaknya dengan kain kering seadanya, memangku, dan meletakkan kepala anaknya di dadanya..dekat dengan hatinya..jantungnya..jiwanya..

            “ngopo ora ngiyup to nak?” (kenapa kok tidak berteduh nak?), kata ibunya sembari membelai lembut rambut  basah anaknya..

            “pingin ngancani langit, mbok..mesakke..dewean..” (ingin menemani langit, buu.. kasihan... sendirian..), kata ayu sembari mengusap lelehan air matanya di pipinya yang tak sebulat anak – anak kota nan menggemaskan..

            “ah...nduk..”




Ad Maiorem Dei Gloriam


Amadeus Okky Suryono

            

Kamis, 10 Oktober 2013

Heartbroken..

Heartbroken..
Karena cinta? ah.. sudah basi..berlumut.. bahkan hingga kini, hati yang tadinya utuh menjadi separuh.. dan dari hati yang separuh, mati – matian buat gak nyanyiin lagu - lagu galau dan beranjak ke sarang spiritualitas malah justru ter-abrasi menjadi seperempat dan bahkan hilang! Lalu? Aku menjadi manusia tak ber-hati? Entah..

Heartbroken..
Karena kelakuan orang -  orang sekitar yang melihatku dalam bungkusan masa lalu? Kurang tau juga. Mungkin masih banyak yang  berpendapat kalo manusia itu makhluk stagnan.. yang berubah ya physicly..warna rambut, tinggi badan, atau bahkan meningkatnya kemampuan otak.. pokoknya yang bisa diliat mata..bukan hati..bukan kepribadian...kalo masa lalunya udah seperti itu ya udah.. pasti sekarang ya gak jauh – jauh banget dari situ.. lalu respon – respon yang kayak gitu bikin heartbroken? Um..entah..mau ngecek hati juga kayaknya tadi uda secara gak langsung menjadi “manusia tak ber-hati”.. jadi mau ngecek kemana lagi?

Heartbroken..
Karena ekspektasi kepada almamater yang terlalu tinggi.. indah.. bahkan sekarang seakan menjadi folkstale yang apik sebagai bumbu bunga tidur? Well. Mungkin.. aku mulai teracuni virus iri dengki kepada mereka, para alumnus yang masih tinggal di dunia khayangan, dunia yang penuh solidaritas, kehangatan teman – teman satu almamater yang menempati sebagian besar porsi hati dan menjadi source bahan bakar di kala ndonya sedang sedingin apatisme.. lalu? Mengapa dunia almamaterku begitu berbeda? Apakah aku yang begitu berbeda?

Heartbroken..
Bahkan dibuat berkali – kali heartbroken melebihi heartbroken – heartbroken lain, karena masih bercokolnya manusia – manusia  yang  secara klise diceritakan dalam kitab perwayangan Jawa, dimana terdapat seorang tokoh bernama Dasamuka (sepuluh wajah).. dan disini kuartikan saja secara harafiah tentang manusia yang memiliki topeng wajah berjumlah sepuluh.. para penjilat.. para makhluk yang menodai kasih dan ketulusan.. para jahanam yang mencucurkan air mata di kala hati bergemuruh riang..terutama ketika menatap kesialan sesamanya..

Heartbroken? Entah bisa disebut broken lagi atau malah destroyed? Bagai puing – puing abu yang terbang sejalur dengan angin.. menyebar ke berbagai tempat entah kemana.. menghilang..


Lalu? Masih bolehkah aku.. setidaknya menatap  dari kejauhan.. meski bukan di kehidupanku tetapi paling tidak, menatap dunia manusia – manusia yang masih bisa tertawa lepas..berbahagia.. dan bersyukur bahwa ia masih hidup dan bernafas dalam bulir waktu yang mengalir di kehidupannya? 



Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono