Ia memandang nanar di tepian langit –
langit kamarnya.. bersetubuh dengan waktu yang tak lagi menggairahkannya..
kekasih jiwanya telah pergi.. sembari menggandeng lelaki yang juga menjelma
menjadi sahabat terbaiknya.. mereka berdua telah tenggelam bagaikan senja yang
luruh dalam barisan bintang.. mereka telah tiada.. tetapi ketiadaan mereka
menyisakan ruangan kosong dalam rongga hatinya yang telah begitu banyak
meneteskan darah..bahkan tetesannya melebihi darah yang sekarang mengalir
akibat sayatan – sayatan di tangannya dan membentuk dua buah nama.. Putri dan
Rico..
Jeritan pilunya membelah malam .. Ia merasa semesta mempermainkannya dan
membuatnya tak lagi mempercayai cinta. kosong..kelam.. hingga ia berada di
suatu titik dimana ia tak merasakan apapun..
Darah terus menetes bersama buliran
waktu.. hingga ia pun tak merasakan sakit fisik apapun..dengan sisa tenaga yang
ia punya.. ia membuka pintu rumah, dimana merupakan satu – satunya penghalang
antara dirinya dan semesta yang menantinya di luar.. bersekongkol untuk
membahanakan tawa mereka..
Ia membuka pintu..udara beku di
bawah langit Sahara semakin menusuk hati yang hitam dan tak lagi merasakan apa –
apa.. dengan darah yang masih menetes tetapi berkurang intensitasnya karena
memang ia masih diliputi ketidakberuntungan karena ia menyayat tak begitu
dalam..dan dengan bertelanjang kaki, telapak kakinya mulai bercumbu dengan
lautan pasir.. ia mulai meniti langkah.. berbekal mata yang menatap ke satu titik
tetapi terkabutkan akan gumpalan air yang memenuhi rongga matanya yang memanas..
suatu kondisi dimana ia selalu bersahabat dengannya...
Ia berjalan lunglai menuju bukit
pasir terjauh dalam pandangan matanya..sembari berteriak pilu akan dua nama
yang tergores menganga dalam luka di tangannya..para tetangganya menahannya..
ia hanya bisa meronta..dan menjerit..”lepaskan aku!”
Berjam – jam para tetangga berusaha
menahan tubuhnya yang masih terus meronta.. “ah.. ia telah pergi dan takkan
kembali..”, kata salah seorang tetangganya.. satu per satu mereka melepaskan
cengkeramannya dalam tubuhnya..hingga tak ada seorang pun yang menahannya.. Ia
bangkit berdiri dengan mata yang nanar..ia melangkahkan langkah pertamanya..
dan mulai berjalan..menuju bukit pasir terjauh dalam pandangan matanya..
Hari telah beranjak pagi dalam
balutan mentari yang tersipu malu..mentari yang seolah bersinar dan bahagia
melihatnya saat ini..dan terus tertawa cerah.. lelah..dan capai hingga
tergantikan oleh tawa sang rembulan.. berbulan – bulan ia tetap berjalan..selangkah demi selangkah..menyusuri
Sahara yang dingin membeku ketika malam tiba..dan masih berteriak pilu akan dua
nama yang terukir dalam luka di tangannya yang semakin mengering..
Hingga suatu hari.. ia menemukan
satu pohon tua yang berdiri agak condong ke barat.. dan pohon itu yang hidup di
tengah padang pasir yang tandus.. berdiri sendiri dan terbalut sepi.. Ia pun
terduduk di bawah pohon itu.. pohon yang tak berdaun.. yang hanya memiliki
beberapa ranting – ranting tua andalannya.. dan Ia menemani pohon tua itu..
Ia merasakan suatu kedamaian yang
luar biasa..
Ia merasakan terik mentari yang menyengat
kulitnya yang terbakar dan terkelupas akibat hujan mentari dan bekunya malam
yang ia terima setiap hari..
Ia merasakan angin panas menerpa
jalur – jalur air mata yang telah mengering pada wajahnya..
Dan yang mengagetkannya adalah..
Ia mampu kembali merasa..
Ia menjeritkan untuk terakhir
kalinya kedua nama itu.. jeritan yang panjang..hingga angin membawa gema
suaranya terbang menuju khayangan..
Ia berkata lirih,”tunggu gema
suaraku.. jangan tinggalkan aku sendiri disini bersama pohon tua ini..aku ingin
menyusulmu..”
Dan ia mendapatkan keberuntungan
pertamanya ..
Ia tak lagi merasakaan apa – apa lagi..
Selamanya..
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono