Kala Senja di Ratu Boko

merasakan getaran suasana candi boko yang mempesona..

Menembus Waktu dengan Romansa

sebuah desahan mimpi yang sangat menggoda untuk disajikan..

De Britto ...

Sekolah cinta...Sekolah hati..

Gua Tritis...kemolekan yang menawan hati..

sebuah perjalanan menikmati kemolekan Gua Tritis yang patut untuk diulas..

Pantai Indrayanti..pantai pemuas hati..

pantai pasir putih yang memesona..

Minggu, 04 Maret 2018

Aku Berbeda..

Terkadang, menjadi berbeda itu berhadapan pada jalan yang penuh liku..
Memiliki pola pikir open mind, terseok di tengah – tengah masyarakat small minds..
Memiliki kebiasaan apa adanya dan sederhana, di tengah  orang - orang munafik dan pencari muka..
Mengutamakan sisi humanis diantara orang sinis, apatis, egosentris.
Memiliki cara menyembah Tuhan yang berbeda dari yang pada umumnya..


Manusia selalu memiliki tuntutan – tuntutan yang harus dilakukan menurut standar pemikirannya sendiri..
Tuntutan yang menurut logika itu benar.. tapi salah secara nurani..
Ketika otak selalu dikedepankan, dan hati sering kali terabaikan..
Ketika yang menjadi berbeda itu sendirian berbanding khalayak ramai..
Ketika kesepian dan kesendirian menjadi sahabat sejati bagi seorang yang berbeda..


Memang benar,
Semua selalu kembali ke dalam diri..
Agar selalu memiliki respons – ability.. responsibility..
Kemampuan untuk merespons setiap tindakan luar yang berasal dalam diri..
Dengan damai, sukacita..
Tanpa peduli siapa saja yang menginginkanmu jatuh bersama debu..
Tanpa peduli siapa saja yang iri dan dengki ketika melihatmu melangkah dalam cahaya..
Tanpa peduli siapa saja yang melontarkan senyum di depan dan belati di belakang..
Tanpa peduli siapa saja yang membencimu dengan sepenuh hati..


Tak apalah aku menjadi seorang yang berbeda..
Bersahabat dengan dunia tanpa kata..
Merindukan tawa dan cinta nan jauh disana..
Berkelana bersama jiwa – jiwa kemanusiaan,
Menjunjung tinggi hakikat keberadaan manusia..
Dan menyerahkan ketidak mampuanku..
Pada kasih karunia dan kebenaran..


Aku bangga menjadi berbeda,




Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono




Minggu, 04 Februari 2018

Uang

Uang..
Sebuah kata yang selalu melekat di dalam pikiran manusia – manusia dunia..
Tujuan hidup untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan sehari – hari..
Tanpa uang, kita takkan bisa hidup..
Tanpa uang, kita akan merasa hampa..
Ia menjadi alibi ketika pekerjaan yang kelam menjadi secerah pekerjaan yang terang..
Ia menjadi manifestasi cinta pada jaman modern..
Ia mampu menaklukkan senyum dari bidadari – bidadari malam..
Ia mampu memiliki segala yang ada di dalam dunia..
Tetapi semua itu semu..
Semua itu justru hanya kabut yang hadir di hadapan mata..


Ia menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang…
Ia menjadi tuan sehingga menghalalkan segala cara untuk memilikinya sebanyak yang manusia mampu..
Manusiapun berlomba – lomba untuk unjuk kebolehan menebarkan uangnya di hadapan yang lain.
Untuk mendapatkan pujian..
Untuk mendapatkan pengakuan..
Pengakuan dari bibir manusia yang hanya mengukur dari apa yang terlihat oleh mata.


Menurutku, hidup itu lebih dari sekedar duniawi..
Dan pandanganku itu akan dianggap aneh oleh sebagian besar manusia – manusia dunia..
Aku yang tidak murah hati..
Aku yang begitu cinta akan uang sehingga aku tak rela membagi – bagikan..
Aku yang tak pernah menebarkan uang sebanyak manusia – manusia dunia itu..


Manusia dunia itu tak kan pernah memahami dengan perspektif yang sama denganku.
Karena manusia dunia itu hanya mengukur kedalaman hati seseorang dari apa yang mereka lihat.
Aku hanya melihat kedamaian yang ada dalam keheningan hiruk pikuk duniawi.
Aku hanya melihat “silence as the soundless sound”
Aku hanya melihat bahwa dengan menebarkan uang itu tak akan memperoleh kebahagiaan.
Aku melihat lebih dari sekedar uang..
Dan aku tak peduli apa yang orang lihat akan diriku.
Karena yang paling penting..
Kedamaian Tuhan selalu hadir dalam hati dan pikiranku.
Dan itu sudah lebih dari cukup.




Ad Maiorem Dei Gloriam





Amadeus Okky Suryono

Minggu, 15 Oktober 2017

Penjaja Kerupuk

              Pagi ini tanggal 15 Oktober 2017, Gereja memperingati hari pangan sedunia. Mgr Ignatius Suharyo melalui surat gembalanya menyampaikan pentingnya kepedulian akan 37% anak balita Indonesia yang kekurangan gizi, dimana di sisi lain sekitar 28% hanya di wilayah Jakarta dan sekitarnya, merupakan masyarakat obesitas (asupan kalori > kebutuhan tubuh). Suharyo menyampaikan bahwa kita sebagai masyarakat gereja perlu menekankan kepada anak – anak ataupun diri sendiri akan pentingnya menghargai sebuah makanan. Makanan yang tidak habis termakan, atau membuang – buang makanan sama saja dengan merampok makanan dari orang miskin dan kekurangan gizi. .

            Tak lama setelah Misa, di depan gerbang gereja telah menunggu seorang yang tak ingin kalah akan kondisi fisik yang ia alami, seorang yang berjuang hari demi hari untuk mencukupi rasa lapar dan dahaga di bawah terik mentari dengan menjajakan kerupuk dan suara yang lantang membelah nurani dari masing – masing individu yang melewatinya. Ia berbekal tongkat sebagai mata, dan hati sebagai pembakar semangat. Seorang pedagang tunanetra kerupuk keliling itu sepertinya tak pernah memperdulikan gizi yang diutarakan di dalam gereja tadi. Asalkan perut kenyang, ia bisa hidup untuk hari itu, itu sudahlah cukup.

            Tak jauh dari situ, di sebuah restoran yang ber pendingin ruangan, Seorang wanita cantik sedang berfoto dengan handphone terbaru seharga belasan juta, tertawa bersama teman – temannya (seorang manusia yang memang benar – benar ingin menjadi temannya atau hanya sebagai “sarana” penghabis waktu) dan mengupload hasil fotonya bersama teman – temannya agar eksis di media sosial, agar followernya bertambah, agar orang – orang kagum dan iri akan kehidupannya yang begitu “sempurna”. Sepulang bermain dengan teman – temannya, di balik bilik kamarnya, ia merasa kosong. Kesepian, kesendirian, rasa ingin eksis menjadi “masalah utama” dalam kesehariannya. Ia pun memesan makanan – makanan yang enak ataupun  membeli barang – barang fashion dan aksesoris terkini sebagai pelariannya dan menjadikannya bahan untuk eksis di media sosial. Sering, kelimpahan yang ia terima dirasa belum cukup.

            Seorang tunanetra penjaja kerupuk tadi begitu mensyukuri hidup dan menjalaninya dengan sepenuh hati melalui semangatnya menjual kerupuk dengan suara lantang di tengah segala keterbatasannya. Ia pantang menyerah pada keadaan, terbiasa menyelesaikan masalah – masalah pelik dalam hidupnya menjadikan hatinya sekeras baja dan terus bergerak maju apapun yang terjadi. Perbedaan itu sangat khas terhadap wanita cantik di atas, dimana masalah terberatnya sehari – hari “hanyalah” takut kesepian, sendirian, dan tidak eksis di media sosial.

Tuhan terus mengingatkan kita untuk selalu membuka mata hati kita dan mengingatkan kita untuk terus bersyukur atas segala kebaikan atau keburukan yang terjadi di dalam hidup kita. Kita terus dilatih untuk melihat Tuhan yang hadir di dalam diri sesama kita yang menderita. Kita pasti menemukan para pedagang kecil di sepanjang jalan ibukota, baik itu berfisik sehat ataupun penyandang disabilitas yang tidak mau menyerah akan kondisi yang menimpanya. Anak kecil yang duduk termenung di depan sebuah mall mewah, sembari terdiam menjaja keripik peyek , dimana orang – orang kaya berlalu lalang dengan mobil mewahnya, menggerutu karena pelayanan yang kurang baik dari sebuah store.

            Compassion, sebuah kata yang sering diajarkan kepada kita untuk terus melatih hati kita dan tergerak akan rasa simpati terhadap kesulitan orang lain. Kita memang tak begitu menginginkan untuk makan kerupuk, atau keripik peyek yang dijual anak kecil itu,tetapi paling tidak kita bisa membantu meringankan perjuangan hidup mereka dengan tindakan nyata, menyisihkan sebagian kecil uang kita untuk membeli dagangan mereka, dan bukan hanya berkoar – koar akan pentingnya berbuat baik, tetapi tidak melakukan tindakan nyata yang menolong sesama.

Karena Yesus pernah berkata, “jika kamu melakukan sesuatu untuk saudaraku yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku..”




Ket Gambar : Tunanetra Penjaja Kerupuk 




Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

Sabtu, 12 Agustus 2017

Friendship at Marriage..

      Beberapa saat yang lalu, Seorang teman mengundang “teman – teman sepermainannya” untuk datang ke sebuah acara peringatan kebahagiannya dalam menapaki kehidupan yang baru bersama belahan jiwanya. Sebuah acara yang merupakan titik balik perubahan pola pikir dan hidup dimana rasa mencecap kehidupan menjadi sesuatu yang benar – benar berbeda. Acara Pernikahan.

         Banyak teman yang begitu antusias untuk datang ke acara “sakral” tersebut, menyusun rencana perjalanan dan penginapan untuk hadir di lokasi undangan yang sebenarnya hanya berjarak 3 – 4 jam dari tempat mereka tinggal. Tetapi ada juga beberapa teman yang merasa acara yang mereka miliki itu jauh lebih penting ketimbang menghadiri undangan pernikahan tersebut.

      Bagi para undangan, sekedar hadir dan memberikan ucapan selamat itu adalah hal yang biasa dilakukan. Tetapi bagi pemilik acara, kehadiran, senyuman dan jabat erat dari para tamu undangan merupakan suatu apresiasi tertinggi atas hubungan pertemanan mereka selama ini. Suatu pujian kepada pemilik acara bahwa ia adalah teman yang berharga dan kebahagiaannya merupakan kebahagiaan para tamu undangan juga. Hal ini terkadang terlupakan, khususnya bagi para “sahabat” yang tidak hadir.

      Terkadang melalui hal – hal seperti inilah, kita dapat melihat kualitas pertemanan seseorang, tentang bagaimana ia menempuh ratusan kilometer hanya untuk hadir dan memberikan ucapan selamat atas hari bahagia seorang sahabat. Tentang bagaimana ia menyediakan waktu, tenaga dan mengorbankan hal – hal lain selain dirinya hanya untuk hadir dalam upacara sakral tersebut. Atau sekedar memberikan ucapan selamat melalui buket bunga dan meminta maaf karena tak dapat hadir pun sudah menunjukkan kesenangan pemilik acara meski mereka tak dapat hadir. At least, we give something that express our gratitude and happiness to them though we can’t present to the wedding.

            Seorang sahabat akan memberikan hati kepada sahabat yang lain, barang – barang duniawi yang mereka berikan hanyalah fasilitas untuk menunjukkan seberapa penting seorang sahabat akan yang lain. Bahkan terkadang adapula pertemanan yang begitu meributkan hal – hal sepele duniawi, disitulah kualitas pertemanan mereka dapat terguncang hanya karena keduniawian, bukan dari hati. Jika hal seperti itu saja diributkan, will they come to our wedding? Yang jarak nya jauh dari tempat mereka tinggal, yang membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga serta materiil yang tidak sedikit. Maukah mereka berkorban untuk sekedar memberikan kehadiran, senyuman dan menjabat erat tangan kita di hari bahagia kita?

      We need to be selective to choose who are around us. Surround ourself with positif people. And I’d rather to invite the best people to our wedding and keep it small than two faced people with no quality in friendship.

     More importantly, invite the one who are precious and see you as a jewel in their lifes, and neglected who are giving you boundaries, underestimates, and sees that their world still exist though we are no longer exist in their lifes, and they didn’t mind.

Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Minggu, 14 Mei 2017

Missing Pieces..


Sometimes we really needs time to sort it all out..
About everything we face.. all the problem and confusion in life..

Do our friends have a real good impact into our life? Or maybe just drifting our life into somewhat backwards into becoming the best of our self?
Do we actually love or just admiring beauty into lady who sits and sees us differently?
Do we had already find the true jobs that we finally can combine it into our passion and can give birth into something new and good into our old black world?
Do this country can celebrate a century as one nation or just cracking inside .. crippled by some sentiments of politics, religions or some other excuse to torn the country apart?

People can easily choose their black or white into those questions.. or they can be trapped into their own mistakes and accidentally choose their colors..
And clock is ticking.. whether you choose it or not..
We as a human definitely have a portion of ambition and what we really want to achieve as we live in this world..
And that makes a significant factor of how they see life.. differently..
You choose.. or stuck in the greyness while you’re getting older..
And the greyness slips in your hair, decreasing light in your eyes.
What should we do with our life.. to make things become what we wants to be..
It just got all puzzled up.. that something is really missing and we don’t know what it is..
No simple booster to answer those simple questions..
Its all just unfocused..
We all get confused..
With illusion.. a sacrament that hopes to turn us into a better man..
But it’s not.

Maybe I really needs to stay away from those good/bad people for a while..
And figure it out by myself..
And also by walking with God..
Because only God is the truth and the only one can sees the truth perfectly..




Not people or everything else in this world.





Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

Sabtu, 08 April 2017

Jakarta..

Jakarta.

Sudah genap 3 tahun aku berdiam di dalammu..
‘tuk meniti pencarian jati diri dan tujuan hidup yang paling hakiki..
Jantung negara nun Ramai, luluh lantak oleh kebisingan..
Badan lesu, langkah gontai, mata kehilangan cahayanya..
Pemandangan biasa akan manusia – manusia Jakarta yang kehilangan jiwanya..
Melanglang buana terpekikkan rutinitas, kemacetan jalanan, dan ketidakwarasan nurani..


Waktu senggang kuhabiskan berpikir tentang sebuah cara..
Cara tentang bagaimana menghabiskan waktu dengan bahagia..
Menyegarkan asa, mewarnai impian.
Ku visualisasi orang – orang yang sebaiknya ku ajak ‘tuk menghabiskan waktu.
Kucoret satu per satu nama mereka dari pikirku..
“Munafik..acuh tak acuh..” pekik hatiku..
Aku mendengarkan jiwaku, dan di tengah hingar bingar ibu kota..
Aku memilih menghabiskan waktu bersama kesendirianku.
Paling tidak aku dan diriku saling menjaga kewarasan kita.
Paling tidak aku bersama sang waktu meniti kebersamaan di tengah keindahan dunia yang seakan sirna..


Manusia begitu mengandalkan manusia lain untuk membuatnya bahagia..
Juga ia begitu menggantungkan harta benda untuk pelarian dan penghiburan..
Bahkan mencari pelampiasan hawa nafsu untuk sekedar membuatnya kembali waras dalam keseharian yang semakin pelik..
Bagi manusia – manusia perantau ibukota..
Jakarta tak hanya sebuah kota metropolitan..
Jakarta adalah sebuah proses yang penuh perjuangan..
Jakarta adalah sebuah kisah baik ataupun buruk, dan kisah ini patut untuk dikenang ..
Jakarta adalah sebuah pintu sebelum menuju pintu yang lain..
Jakarta, membuatku selalu merindukan orang yang memperlakukanku dengan hati yang tulus nun jauh disana.


Perjuangan ini belum berakhir.
Meski Perjuangan ini meruntut pada jeritan batin, kesusahan hati, kelelahan fisik dan pikiran..
Tetapi Tuhan memampukanku agar aku memberikan dampak yang lebih besar dan luas.
Dan perjuangan ini kulakukan.. untuk kemuliaan Tuhan yang lebih tinggi..







Ad Maiorem Dei Gloriam




Amadeus Okky Suryono

Sabtu, 18 Maret 2017

Dua Manusia..

Ada dua orang manusia..


Manusia pertama,
ia terlahir sempurna, di tengah keluarga yang hidup berkecukupan.
Selama hidupnya, ia mendidik dirinya untuk menikmati apa yang dunia berikan untuknya.
Tempat tinggal yang nyaman..
Ia mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah..
Ia punya kekuatan finansial yang selalu supportive atas apa saja yang ia lakukan..
Di usia yang masih muda, ia jatuh cinta..
Tak seperti kebanyakan manusia yang terlalu memikirkan bagaimana menghidupi bahtera rumah tangga..
Ia pun menikah di usia muda..
Tentu dengan pesta yang mewah..
Rumah nyaman yang telah disediakan oleh keluarganya..
Kehidupan sejahtera yang membentang di sepanjang hidup sepasang kekasih muda itu..
Berlibur ke luar negeri bersama keluarga besarnya..
Ia membeli mobil dan pakaian – pakaian mewah..
Life is beautiful,isn’t it?



Manusia kedua..
Ia terlahir dalam keluarga sederhana..
Ia merasakan panasnya suhu rumah ketika hanya dibuai oleh kipas angin tua..
Ia mendidik dirinya mati – matian untuk bisa mendapatkan nilai terbaik di sekolah..
Menjelang dewasa..
Tak ada orang yang menawarkan pekerjaan ataupun bisnis kepadanya secara cuma – cuma..
Uang di tabungan yang seadanya..
Bergumul dengan harga untuk hidup di ibukota..
Sering.. untuk menghemat uang di saku celana..
Ia rela tidur di peron stasiun..
Atau tertidur di minimarket yang terbuka 24 jam…
Baju lusuh dan badan yang gatal sudah menjadi cerita biasa untuknya..
Ia memiliki mimpi yang tinggi..
Mimpi untuk bisa melihat dunia dengan tetes peluh nya sendiri..
Ketika hidup begitu berat dan ia menyimpan ambisinya itu dalam – dalam..
Jatuh cinta? Jelas, ia jatuh cinta.
Tak seperti manusia kaya dan berkecukupan, ia memikirkan dengan apa ia bisa menghidupi keluarga masa depannya..
Ia memikirkan bagaimana ia bisa membelikan rumah yang nyaman untuk keluarga kecilnya..
Ia mengerutkan dahi tentang bagaimana ia bisa membesarkan anak – anaknya.
Di sisi lain, ia berpikir bagaimana bisa merealisasikan untuk meraih ambisinya melihat dunia?



Hidup memang berat..
Ya.. hidup berat untuk manusia kedua..
Tapi tidak untuk manusia pertama. Life is easy and beautiful, kata manusia pertama.
Life is hard, and we need to fight for it. We need to be strong to face it, kata manusia kedua.
Hidup memberikan jalannya masing – masing.
Dan kekuatan pribadi itu muncul, ketika ia diproses, ditempa, diinjak – injak, diludahi..
Tapi ia tetap kuat.. ia jatuh, tetapi tetap bangkit..
Dan di penghujung hidup, ketika Tuhan membentangkan tangannya..
Menyambut karakter – karakter kuat yang berproses sepanjang hidupnya..
Dan karakter itu sadar, Ia kuat berpeluh debu dan tanah, bukan karena kekuatannya sendiri.
Tetapi menyadari kekuatan Tuhan yang hadir dalam setiap derap nafas hidupnya.
Karakter itu memahami..
Bahwa terdapat perbedaan perspektif kebahagiaan antara manusia pertama dan kedua dalam melihat kebijaksanaan kehidupan secara sempurna..



So, which one are you?





Ad Maiorem Dei Gloriam






Amadeus Okky Suryono