Aku terbuai dalam belaian angin yang
berhembus masuk menuju ruang tamu tempat aku duduk dan bercinta dengan buku –
buku bacaanku. Kutatap keluar rumah, disana hadir hijau dedaunan yang menari
malu berhiaskan keceriaan kicau burung di tengah arogansi mentari. Jalanan aspal
depan rumahku sepi, menandakan tak banyak warga yang membiarkan diri mereka
terbalut waktu dalam kenestapaan. Hanya satu dua pedagang baik makanan yang
berisikan sayur mayur dan bumbu – bumbu masakan maupun pedagang alat – alat rumah
tangga yang melintas menuju sudut - sudut gang itu.
Tak berapa lama kemudian, kenikmatan
membacaku terusik oleh kehadiran seseorang yang sangat familiar dalam masa
kecilku dengan latar mentari yang mulai beradu malu dengan awan. Familiar dalam
artian lekuk wajah dan bentuk tubuh begitu kukenali karena kehadirannya yang sering melintasi jalanan gang – gang rumah kami. Hanya sepatah dua patah kata
yang ia tuturkan, atau bahkan tak bertutur sama sekali ketika tangan legamnya
dengan lincah memungut tong – tong sampah rumah tangga yang tergeletak di depan
masing – masing rumah penduduk dan memasukkannya ke dalam gerobak sampah lapuk yang setia menemaninya kayuhan demi kayuhan menjemput sampah - sampah itu.
Dengan bermodalkan topi bundar berwarna
hijau lusuh yang menghiasi sekeliling kepalanya, kaos oblong warna biru lusuh
yang menjadi senjata kesehariannya, celana jeans biru muda yang telah memudar
dan bercak – bercak kotoran di sisi kiri dan kanannya, dan tak lupa sandal
jepit kesayangannya, ia bergerak memacu gerobak sampah yang terbuat dari kayu
lapuk di masing – masing sisinya dan menembus hujan radiasi mentari demi
mencukupi kebutuhannya dan keluarga yang dicintainya.
Kehadirannya familiar di masa
kecilku? Ya, sepengetahuanku, semenjak aku menempuh sekolah dasar hingga kini, 13 tahun atau mungkin lebih, dengan tatapan
matanya yang melankolis dan senyum yang tanpa ragu ia sandarkan begitu
mengguratkan aura ke-nrimo-an akan
dirinya sehingga gerak geriknya begitu membelai ketulusan hatinya dalam
mengurusi sampah – sampah yang telah menjadi pekerjaannya selama bertahun –
tahun itu. Jelas rasa gengsi ia buang jauh – jauh, sebuah pribadi yang langka
di tengah materialisme dan hedonisme yang semakin membabi buta. Sebuah pekerja
dengan jiwa yang rela berpeluh, menerima keadaan, berkarya dengan sepenuh hati,
hingga garis – garis hidup terlukis manis bersanding pipi dan kelopak matanya.
Apakah kita yang mengaku “orang kota”
tidak merasa malu akan keihklasannya dalam menjalani hidup? Mengeluh akan hal –
hal yang “sedikit” memerlukan
keprihatinan seperti contohnya ketika di masa – masa Kuliah Kerja Nyata yang
dihadapi mahasiswa saat ini, para mahasiswa“kota” itu mengeluh kulitnya rusak karena mandi
menggunakan air tadah hujan, tidak tidur di kasur yang empuk, merindukan “masakan
enak di kota”, sinyal telepon gengam yang timbul tenggelam dan banyak keluhan
lainnya. Apakah kita tidak merasa malu ketika kita yang seharusnya memiliki
tingkat intelegensi yang baik serta berbagai materi yang mampu menghasilkan kualitas hidup yang baik malah tidak mengerti cara untuk bersikap dan nrimo dalam menikmati hidup dan justru mereka
yang telah terbiasa berkubang dalam derita, tak menempuh pendidikan bahkan tak cukup materi yang diperlukan untuk hidup serta ditempa oleh hidup justru mampu untuk
menghasilkan yang terbaik bagi manusia – manusia di sekitar mereka khususnya
keluarga mereka?
Maukah
kita meneladani sikap ke-nrimo-an dan
kerendah hatian mereka serta berdamai dengan hidup ?
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono
0 komentar:
Posting Komentar