Senin, 14 Januari 2013

"Pak Sampah"


       Aku terbuai dalam belaian angin yang berhembus masuk menuju ruang tamu tempat aku duduk dan bercinta dengan buku – buku bacaanku. Kutatap keluar rumah, disana hadir hijau dedaunan yang menari malu berhiaskan keceriaan kicau burung di tengah arogansi mentari. Jalanan aspal depan rumahku sepi, menandakan tak banyak warga yang membiarkan diri mereka terbalut waktu dalam kenestapaan. Hanya satu dua pedagang baik makanan yang berisikan sayur mayur dan bumbu – bumbu masakan maupun pedagang alat – alat rumah tangga yang melintas menuju sudut - sudut gang itu.

       Tak berapa lama kemudian, kenikmatan membacaku terusik oleh kehadiran seseorang yang sangat familiar dalam masa kecilku dengan latar mentari yang mulai beradu malu dengan awan. Familiar dalam artian lekuk wajah dan bentuk tubuh begitu kukenali karena kehadirannya yang sering melintasi jalanan gang – gang rumah kami. Hanya sepatah dua patah kata yang ia tuturkan, atau bahkan tak bertutur sama sekali ketika tangan legamnya dengan lincah memungut tong – tong sampah rumah tangga yang tergeletak di depan masing – masing rumah penduduk dan memasukkannya ke dalam gerobak sampah lapuk yang setia menemaninya kayuhan demi kayuhan menjemput sampah - sampah itu.

       Dengan bermodalkan topi bundar berwarna hijau lusuh yang menghiasi sekeliling kepalanya, kaos oblong warna biru lusuh yang menjadi senjata kesehariannya, celana jeans biru muda yang telah memudar dan bercak – bercak kotoran di sisi kiri dan kanannya, dan tak lupa sandal jepit kesayangannya, ia bergerak memacu gerobak sampah yang terbuat dari kayu lapuk di masing – masing sisinya dan menembus hujan radiasi mentari demi mencukupi kebutuhannya dan keluarga yang dicintainya.

         Kehadirannya familiar di masa kecilku? Ya, sepengetahuanku, semenjak aku menempuh sekolah dasar hingga kini,  13 tahun atau mungkin lebih, dengan tatapan matanya yang melankolis dan senyum yang tanpa ragu ia sandarkan begitu mengguratkan aura ke-nrimo­-an akan dirinya sehingga gerak geriknya begitu membelai ketulusan hatinya dalam mengurusi sampah – sampah yang telah menjadi pekerjaannya selama bertahun – tahun itu. Jelas rasa gengsi ia buang jauh – jauh, sebuah pribadi yang langka di tengah materialisme dan hedonisme yang semakin membabi buta. Sebuah pekerja dengan jiwa yang rela berpeluh, menerima keadaan, berkarya dengan sepenuh hati, hingga garis – garis hidup terlukis manis bersanding pipi dan kelopak matanya.

       Apakah kita yang mengaku “orang kota” tidak merasa malu akan keihklasannya dalam menjalani hidup? Mengeluh akan hal – hal yang  “sedikit” memerlukan keprihatinan seperti contohnya ketika di masa – masa Kuliah Kerja Nyata yang dihadapi mahasiswa saat ini, para mahasiswa“kota” itu  mengeluh kulitnya rusak karena mandi menggunakan air tadah hujan, tidak tidur di kasur yang empuk, merindukan “masakan enak di kota”, sinyal telepon gengam yang timbul tenggelam dan banyak keluhan lainnya. Apakah kita tidak merasa malu ketika kita yang seharusnya memiliki tingkat intelegensi yang baik serta berbagai materi yang mampu menghasilkan kualitas hidup yang baik malah tidak mengerti cara untuk bersikap dan nrimo dalam menikmati hidup dan justru mereka yang telah terbiasa berkubang dalam derita, tak menempuh pendidikan bahkan tak cukup materi yang diperlukan untuk hidup serta ditempa oleh hidup justru mampu untuk menghasilkan yang terbaik bagi manusia – manusia di sekitar mereka khususnya keluarga mereka?

      Maukah kita meneladani sikap ke-nrimo-an dan kerendah hatian mereka serta berdamai dengan hidup ?


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

0 komentar:

Posting Komentar