Kala Senja di Ratu Boko

merasakan getaran suasana candi boko yang mempesona..

Menembus Waktu dengan Romansa

sebuah desahan mimpi yang sangat menggoda untuk disajikan..

De Britto ...

Sekolah cinta...Sekolah hati..

Gua Tritis...kemolekan yang menawan hati..

sebuah perjalanan menikmati kemolekan Gua Tritis yang patut untuk diulas..

Pantai Indrayanti..pantai pemuas hati..

pantai pasir putih yang memesona..

Jumat, 05 Juni 2015

Aging.

            Hari ini, Pagi terasa secerah kemarin.. aku tak mengerti tanggal dan hari apa sekarang. Aku hanya menikmati hembusan angin pagi yang menari malu. Kesejukan yang setiap hari kurasakan ketika Tuhan masih berbaik hati memberikan tambahan hari yang selalu baik buatku. Sudah seharusnya di usiaku saat ini, aku harus memasrahkan diri kepada hidup, mempersiapkan segalanya jika suatu saat, hidup yang begitu singkat ini usai. Kusesap perlahan kopi hangat pagiku sembari menikmati hijaunya dedaunan di pelataran rumahku. Aku tak menyadari waktu yang menyapaku melalui anakku yang dikejauhan meneleponku memberikan ucapan selamat dengan suara riang khasnya,”selamat ulang tahun ya mbah!!”.. sesaat aku hanya tersenyum lebar dan membalas singkat,”oh yoooo...”.

            Aku teringat. Hari ini usiaku beranjak menua.. 77 tahun.

            Aku menua, sensor motorikku melemah, perasaanku begitu sensitif, pikiranku menjadi tak terkontrol. Ucapan selamat ulang tahun, bertambah nya umur, yang disampaikan dengan ceria, bagaimana aku menyikapinya? Suatu perasaan yang kontradiktif menurutku. Bagaimana bisa seorang yang bertambah usianya, diberikan suatu perasaan bahagia oleh orang lain? Apakah mereka senang jika aku melemah? Apakah mereka tidak tahu jika dengan bertambahnya usiaku, waktuku semakin dekat dan aku pun kadang ngeri membayangkannya? Gerutuku. Ah, peduli amat. Cukup mendengar suara mereka dan cucu - cucuku pun aku sudah begitu bahagia. Mereka sangat perhatian denganku. Meski hanya dari suara telephone, dan terkadang aku ingin memeluk dan mencium dahi mereka. Lama. Tetapi aku tetap bersyukur, sembari menghisap rokok kretekku dalam – dalam.

            Tak selang beberapa saat, telephone genggam butut ku berdering memecah kesunyian pagi. Kuangkat, terdengar suara dari kejauhan yang memberi tahuku bahwa saudara lelaki tertua ku meninggal dunia di usia 83 tahun. Aku terhenyak. Butuh waktu beberapa saat sebelum aku memanggil istriku untuk memberitahukan informasi seperti itu. Dharmo namanya, yang beberapa hari lalu masih bersemangat ketika kuajak mengobrol dan merasa dirinya baik – baik saja, pagi ini dipanggil Tuhan.

            Sejenak, pikiranku menyeruak di luar kendaliku. Rokok kretek masih di tangan dengan asap yang menari di atas angan. 83 tahun, sedangkan aku saat ini berulang tahun ke – 77 tahun. Ayahku dulu, juga meninggal pada usia 83 tahun, kalau seandainya aku juga pada usia 83 tahun, waktuku hanya tinggal 5 tahun lagi. Ah, tak apa. Aku sudah pasrah. Aku tak tahan melihat sahabat – sahabatku pergi mendahului aku. Aku tak bisa melihat orang – orang yang semasa hidupnya begitu memberikan warna bagiku, sekarang aku hanya bisa menatap nisan mereka satu demi satu, sembari menceritakan kepada cucuku tentang kisah – kisah persahabatan dengan mereka. Atau satu dua kisah percintaan. Dulu.

            Aku menyulut rokok yang aku tak tahu sudah batang ke berapa. Aku tak peduli. Tuhan begitu baik memberikan hidup yang murah hati kepadaku. Anak – anakku berhasil, cucuku sehat dan pintar, aku hanya bisa mencintai mereka dengan caraku sendiri hingga saat ini, hari demi hari, meski mereka kadang tak mengerti akan cinta yang kuberikan, meski kadang mereka sering menyakiti hatiku dengan tidak rukun bersama saudara – saudaranya. Tapi aku tetap mencintai mereka. Dengan hidupku yang kupersembahkan untuk mereka.

            Melalui hidupku, aku bekerja untuk Tuhan dan sesama, for the sake for my children and my grand children. Aku tak perlu berkeliling dunia untuk bahagia. Meski aku diberikan tawaran dari salah satu anakku untuk itu. Tetapi aku saat ini bahagia. Mampu menyekolahkan kelima anakku di kala keterbatasan ekonomi melanda kami saat itu. Hingga saat ini mereka bekerja dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan aku saat itu. Mereka memberikan cucu – cucu yang sehat. Aku bersyukur. Aku bahagia.

            Aku harus siap jika Tuhan merindukanku dan memanggilku. Aku tahu kehidupan ini tak kekal. Semua orang seharusnya siap, tak hanya manusia seusiaku. Semua orang seharusnya bersiap.
            Untuk kemuliaan Tuhan yang lebih tinggi (ad maiorem dei gloriam)


NB : dibuat di hari ulang tahun Kakung  yang ke 77. Selamat ulang tahun, Kung.


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

  

Senin, 01 Juni 2015

Petualangan di sebuah kata "Kereta"

Kereta.
Mungkin jika kata itu bisa disisipkan menjadi salah satu sel ku, Ia hanya terus menerus membelah diri hingga kata itu membentuk diriku dalam jutaan sel. Jika aku melihat kata itu, aku akan berkelebat dalam pengalaman menunggu, menaiki, hingga tiba di tempat tujuan yang menyambut dalam beribu makna.

            Pengalaman menunggu. Kala itu, lelah akan waktu yang membuat kita menua karena kerja rodiku di salah satu perusahaan di Jakarta, menyita mimpiku, memisahkan jarak dengan kekasih hati, memperpanjang gelombang rindu, aku.. seorang yang begitu menyambut hari sabtu minggu dimana orang pada umumnya hanya menganggap hari weekend biasa, menjadi 2 hari yang special bagiku di bulan itu. Umumnya seorang muda yang sedang jatuh cinta, aku hanya melihat tujuanku, tak peduli seberapa jarak yang harus kutempuh menuju Yogyakarta. Waktu itu, keretaku berangkat pukul 5 pagi, diiringi cinta buta masa muda, aku berangkat menuju stasiun pukul 10 malam, dengan alasan untuk mendapatkan transportasi menuju stasiun yang murah. Sesampai disana? Jelas aku harus menunggu...waktu itu stasiun pasar senen tak memiliki ruang tunggu. Hanya terdapat pelataran yang beralaskan lantai yang dingin, malam yang membalut tubuh, dan angin yang bergemerisik membekukan tengkuk. Aku berusaha untuk tertidur di atas pelataran yang mungkin, menjadi tempat tidur pengemis dan peminta – minta, ataupun para penumpang yang rela mengalah kepada rasa kantuk dan terlelap berselimutkan malam.

            Malam pun juga bermurah hati padaku.. aku terlelap..

Setelah melewati romantika bersama kekasih di Jogja dan bla bla bla bunga – bunga bermekaran kesana kemari, tawa canda, gandengan tangan dan dunia serasa milik berdua, aku pun kembali menuju Jakarta. Sehari setelah pelataran menjadi kasur tidurku. Aku mulai terbangun dari mimpi, selama perjalanan menaiki kereta kembali menuju Jakarta, Aku hanya bisa menggaruk seluruh tubuh..kubuka baju di toilet kereta, seluruh tubuh memerah dan begitu gatal. Dampak tertidur di pelataran peron baru terasa sehari setelahnya. Cinta menjadi tak begitu penting lagi, dan lamunanku berubah dari bayangan tentangnya, menjadi berendam air panas. 8 jam perjalanan menuju Jakarta seperti 8 jam perjalanan menuju neraka.

            Setelah pengalaman itu, peristiwa aku tertidur di peron menjadi sesuatu yang biasa buatku. Pengalaman curi – curi tidur dengan merebahkan tubuh di kursi – kursi kosong pukul 2 dini hari di stasiun Jatinegara sembari mengamati tak ada satpam stasiun yang melintas menjadi pengalaman – pengalaman melelahkanku bersama kereta. Tak adanya transportasi waktu dini hari dan perjalanan yang seharusnya kutempuh dari Jakarta menuju Cikarang (tempat tinggalku waktu itu) yang cukup jauh memaksaku untuk mengeram waktu di stasiun dan menunggu mentari terbit. Jam operasional angkutan umum.

            Kereta juga menjadi rumah bagi berbagai macam kelas sosial. Di Jakarta, aku sering menggunakan kereta api listrik yang setia mengantarkan tukang becak, banci, pedagang, orang kantoran, anak – anak muda ababil, tua, muda, cacat, ibu hamil, berdesak – desakan di dalam kereta pada jam sibuk Jakarta. Air Conditioner menjadi pajangan, peluh menjadi sandangan. Preman memasang gaya “tangguh” dengan tattoo di beberapa bagian tangan, Banci memaki orang  - orang yang secara usil mengejek mereka sebagai lelaki. Ya.. menjadi lelaki.. umpatan paling kasar untuk mereka... Copet mencari peluang untuk mendekati engkong – engkong yang memasukkan samsung seri terbaru di saku celana kainnya, mengundang para pencopet, penjambret dan perampok jalanan yang merupakan teman – teman orang miskin dan papa, lambang ketidak adilan kehidupan, untuk menumpas habis orang – orang sombong dan congkak di muka umum.

            Tuhan begitu berbaik hati padaku karena sepanjang kereta yang aku tumpangi, aku diberikan pengalaman untuk merasuk dalam berbagai sisi manusia, kelelahan hidup yang mendera mereka, lamunan mereka untuk menjadi bahagia. Melalui kereta, aku diberikan kisah nyata, bukan omong kosong yang sering diberikan para pemuka agama yang bahkan jarang bersentuhan dengan masyarakat jelata, yang sibuk berkoar tentang surga dan neraka secara biblikal dan bukan karya nyata. Teorikal bukan praktikal.

            Pernah suatu kali, pada pukul 12 siang, begitu banyak penumpang kereta api listrik di stasiun Jakarta Kota yang mengantri membeli tiket. Saat itu aku hanya bersumpah serapah akan kesedihan yang mendera hariku. Sesaat aku menatap barisan penumpang yang mengular, aku menjadi tak berdaya. Perutku kosong, mentari begitu terik dan menyebabkan suasana stasiun gerah tak keruan. Aku berjalan lunglai meratapi nasibku hari itu, sembari menuju baris terdepan. Aku bertanya ke satpam tak jauh dari situ sebuah pertanyaan retorik,”pak, ini antrian penumpang KRL?”. Si Satpam menjawab dengan galak,”Ya, tolong antri di sebelah sana!” sembari menunjuk ke ekor antrian. Seorang pemuda yang antri di baris terdepan melihatku, sambil bertanya,”mau kemana mas?”. Aku dengan lemas menjawab,”mau ke mangga besar mas..”. Ia membalas,”sini lewat saya saja”. Aku terbelalak. Instingku berkata untuk mempercayai orang baik hati yang menawarkanku bantuan itu. Logikaku berteriak,”hey! Itu siapa? Kamu mau ngasih uang ke orang asing?”. Fisikku terlalu lemah untuk bekerja dan aku pun memutuskan untuk mempercayai instingku. Kuberikan 1 lembar 20 ribu kepada orang yang tak kukenal itu, sembari menahan tubuhku yang didorong oleh satpam yang semakin gusar karena aku membuatnya gerah, memenuhi space tempatnya. Aku menunggu ke tempat yang agak lengang, sembari menatap di keramaian. Aku tak melihat orang asing itu. Tertutup oleh padatnya suasana stasiun. Aku terus menatap di keramaian, berusaha mengingat – ingat wajah dari orang asing itu. Beberapa saat kemudian, wajahnya kulihat, tersenyum sembari memberikan tiket dan uang kembalian secara pas kepadaku. Ia berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang terus mengucapkan terima kasih. Aku memuji kemurahan Tuhan. Dan aku mendoakannya untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup. kataku dalam hati.

            Kereta, petualangan macam apa yang akan kau berikan lagi nanti?


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono