Dering jam wecker yang melantun klasik membangunkanku untuk menikmati hari
baruku dan seketika membuatku terkesiap dalam mimpi yang menyesapku semalaman.
Meskipun aku selalu dibangunkan oleh lantunan klasik jam pengganggu tidur itu,
dering itu tak pernah familiar..selalu buatmu ternganga dan memaksaku untuk
membuka mata. Dering yang keras dan panjang..entah mengapa diriku tak pernah
mau mengganti bunyi beep beberapa
kali yang dilantunkan oleh jam – jam digital masa kini. Aku tetap berkeras
dengan wecker klasik yang selalu
menjerit ketika fajar melirik pada pukul lima lebih tiga puluh menit.
Sembari
mengernyitkan wajah dan menggaruk rambutku yang tak terasa gatal, aku berjalan
terhuyung – huyung mengambil peralatan mandiku, mengatur air panas dengan suhu
40 derajat celcius dan mandi. Setelah menyelesaikan ritual mandiku, aku
mengambil empat lapis roti tawar yang siap di meja makan, membubuhkan selembar
keju ke dalam dua lapis pertama roti tawarku, dan satu telur mata sapi yang
kugoreng cepat di penggorengan. Kuselipkan telur itu ke dua lapis terakhir roti
tawarku. Menu sarapan ini tak pernah berganti semenjak aku SMA hingga aku
bekerja di sebuah perusahaan bonafide seantero
negeri. Tak lupa juga aku membuat kopi dengan takaran 2 sendok kopi, 3 gula dan
2 cream untuk menemani ritual sarapanku. Kupakai pakaian kerjaku, dengan kemeja
putih, dasi merah, celana hitam kain dan jas hitamku. Aku merangsek menuju
kantor tempatku bekerja yang terletak tak jauh dari apartemenku. Dan aku bergulat
dengan data – data keuangan perusahaan hingga pukul 8 malam, mengambil kunci
apartemenku dengan gontai, membukanya perlahan, mencari sofa terdekat yang
terletak di depan televisi dan kurebahkan diriku dengan baju kerja masih
menempel di badanku. Biasanya aku langsung terlelap dan terbangun pukul 2 dini
hari untuk berjalan ke dapur, meletakkan panci dan membuat mie instan untuk
mengganjal perutku. Selesai “makan pagi”, aku berjalan perlahan menuju kamarku
sembari menggaruk perutku yang telah terisi, berganti pakaian, dan membanting
diriku ke atas kasur. Aku terlelap hingga jam wecker klasikku membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.
Apakah aku memiliki wanita? Ya. Dapat
dikatakan kami saling mencintai, tetapi tuntutan pekerjaan membuatku terpisah
sementara waktu dengannya hingga akhirnya waktu menuntun kita bekerja di 2 kota
yang berbeda. Kami hanya bertemu sebulan sekali. Dan sebenarnya, aku hanya
menghabiskan waktu keluar dari rutinitas ketika bertemu dengannya meski hanya 3
hari dalam sebulan. Kami biasa menghabiskan waktu dengan jalan – jalan ke luar
kota,berkunjung ke berbagai tempat wisata, dan melakukan aktivitas saling
memandang yang tak terhitung jumlahnya. Ketika memasuki akhir hari ketiga
pertemuan dengannya, kami berpisah kembali dengan pintu apartemennya sebagai
saksi perpisahan kami setiap bulannya. Satu kecup di pipi sebagai salam
perpisahan dan aku melangkah pergi menuju rutinitasku yang dimulai ketika jam wecker klasikku membangunkanku. Pukul lima
lebih tiga puluh menit.
Akhir pekanku diisi dengan menonton
bioskop di salah satu mall terbesar di kotaku, bioskop yang secara rutin
kukunjungi setiap akhir pekan. Kubeli popcorn
dan minuman soda yang selalu menemaniku nonton meski belum kubeli tiketnya.
Dan kupilih kursi terpojok dalam bioskop itu meski dari pojok yang gelap itu,
aku dengan jelas melihat berbagai pasangan saling merangkulkan tangan dan
menyandarkan kepala di bahu sang pria. Pemandangan yang jelas membuatku iri,
membuatku semakin merasakan sepi, dan aku berusaha untuk mengabaikannya dan
melemparkan popcornku satu per satu
ke rongga mulutku. Film pun usai, aku tetap tak beranjak dari tempat dudukku
meski para penonton yang lain telah meninggalkan theater. Aku akan menikmati lima menit berada di bioskop dengan
film yang telah usai daripada lima menit berada di apartemenku. Separah itu. Sesampai
di apartemenku, aku merebahkan tubuhku, meski waktu masih terlalu awal untuk
tidur dan aku bermimpi hingga jam wecker klasikku
membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.
Aku adalah orang yang mungkin
terlalu berhemat, dan mungkin oleh sebab itulah teman – temanku selalu tak
mengajakku untuk sekedar hang out dan
chit chat di berbagai tempat
nongkrong kesukaan anak muda. Karena aku sering menolak ajakan mereka meskipun
uang tak menjadi masalah untukku dan aku berusaha untuk melihat secara detil
pengeluaranku serta menyesal jika aku mengeluarkan uang terlalu besar karena
telah mencoba menyesap kopi di sebuah cafe
yang baru kukunjungi ataupun mencoba hal – hal baru lainnya. Ya..boleh saja
kamu berkata hidupku hanya berwarna hitam dan putih, dan sedikit berwarna
berbeda ketika 3 hari dalam sebulan aku bertemu wanita yang kurindukan. Aku selalu
menebak perilakuku ini merupakan bawaan darah dari tiong hoa yang mengalir
dalam darahku sekaligus aku yang juga bekerja sebagai staff keuangan. Tetapi hal
itu tak dapat dijadikan alasan. Aku tahu itu. Terlepas dari segala alasanku, aku
selalu memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, yang tak membutuhkan aktivitas hang out, jam wecker klasikku yang setia membangunkanku. Pukul lima lebih tiga
puluh menit.
Pernah..seorang rekan kerjaku
mengatakan kepadaku bahwa hidupku seperti robot dimana hidup seperti itu
merupakan langkahku untuk melindungi diriku dari sepi. Terlalu takut dengan
spontanitas. Terlalu takut lepas kendali. Biarlah. Setidaknya aku tak sendiri. Aku
ditemani jam wecker klasik yang
selalu membangunkanku. Pukul lima lebih tiga puluh menit.
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono