Kala Senja di Ratu Boko

merasakan getaran suasana candi boko yang mempesona..

Menembus Waktu dengan Romansa

sebuah desahan mimpi yang sangat menggoda untuk disajikan..

De Britto ...

Sekolah cinta...Sekolah hati..

Gua Tritis...kemolekan yang menawan hati..

sebuah perjalanan menikmati kemolekan Gua Tritis yang patut untuk diulas..

Pantai Indrayanti..pantai pemuas hati..

pantai pasir putih yang memesona..

Jumat, 25 Januari 2013

Terima kasih dita..


       Perkenalanku dengan dita, mahasiswi ekonomi jurusan manajemen, dimulai ketika kami menempuh mata kuliah yang sama. Mata kuliah hitungan yang mampu memberikan momok tersendiri bagi para mahasiswa/i karena kerumitannya, sehingga menurut mahasiswi berkulit putih dengan rambut panjang berkilau sebahu itu, dirinya bahkan memerlukan seorang guru les untuk membimbingnya menelusuri sudut – sudut intrik mata kuliah yang sangat berbau khas akuntansi tersebut.

        Dita selalu duduk di bangku terdepan, bangku yang paling dekat dengan dosen Sedangkan aku tersudut pada bangku paling belakang, spot yang jarang terlihat dosen agar aku dapat melakukan aktivitas – aktivitas penghilang kebosanan ketika berada di tengah penjelasan dosen yang terkadang meninabobokkan pendengarnya. Bagiku, mata kuliah ini tak begitu rumit, karena kesukaanku dengan angka dan aku yang memang merupakan jurusan akuntansi, sehingga terkadang aku terlalu meremehkan dan berakhir pada pengulangan mata kuliah ini..yang mempertemukanku dengan dita, dimana usianya 2 tahun di bawah usiaku..

         Di suatu malam, aku dan dani, sahabatku semasa kuliah, berperang dengan soal – soal yang terlampau sulit bahkan kurasa, dosen yang bersangkutan pun mengibarkan bendera putih menghadapi soal – soal ini. Dani yang juga satu jurusan dan seusia denganku pun memegangi kepalanya yang terus menerus ia keluhkan pusing tersebut, dampak tak mampu mengerjakan soal – soal itu. Frustasi karena upaya malam itu tak membuahkan hasil, aku pun mengambil blackberry dani untuk sekedar mempermainkannya dan mengambil break di tengah nafas yang mulai sesak. Sebelum mempermainkannya, kulihat daftar kontaknya, dan.. terpampang kontak dita..mahasiswi yang selalu menggoda untuk kuperhatikan.. Tanpa ragu, akupun mentransfer kontak dita ke blackberry milikku, menambahkannya untuk menjadi teman dan tak berapa lama kemudian, voila! Aku pun terhubung ke dalam kehidupannya.

       Perkenalan singkat di blackberry  menggodaku untuk menanyakan penyelesaian soal yang aku dan dani geluti sepanjang malam, mengingat kami sekelas telah mengetahui bahwa hanya dita lah yang menyewa guru les untuk mata kuliah yang bersangkutan. Tak berapa lama kemudian, terpampang jawaban dita dan guru lesnya di layar blackberry, aku dan dani pun bersorak, kami menang. Dengan bantuan dita tentunya.

       Sejak saat itu, aku selalu menunggu hari selasa, pukul 7 pagi, sederet waktu yang menyeret kami berdua ke pertemuan mata kuliah itu. Di dalam kelas, kami hanya saling bertukar pandang, menebar senyum, dan kikuk ketika berusaha untuk mengalihkan pandangan ketika tatapan kami bertemu. Pagiku menjadi indah. Kampus menjadi tempatku mengadu.

      Debar jantung terlalu cepat ketika kucoba menghubunginya via telepon, bahkan berkali – kali kubatalkan niat tersebut, mengumpulkan desah nafas dan mencoba menghubunginya lain kali. Tetapi waktu yang tepat untuk menghubunginya pun tak kunjung datang dan hanya berujung pada pelampiasan pesan – pesan singkat dalam blackberry messenger. Aku pun mulai bertanya pada diriku, “ apakah ini cinta? cinta yang terlalu dalam sehingga mendengar suaranya pun dapat memenuhi hatiku dengan kebahagiaan? Tetapi menghubunginya pun aku tak sanggup. Apakah cintaku tak layak? Kemana perginya keberanianku yang kukobar-kobarkan beberapa tahun belakangan?”

      Pertemuan kami di kampus hanya diisi dengan tatapan mata yang haus akan kerinduan untuk saling mengenal satu sama lain, senyuman yang mendebarkan jiwa, dan kebahagiaan hanya dengan menatap kehadirannya. Aku hanya merasakan, jiwa yang satu, dengan jarak yang memisahkan raga. Hingga 1 semester pun berlalu..kami belum sempat mencecap hangatnya kehidupan satu sama lain. Hanya kenangan akan tatapan,senyuman, dan gerak langkah yang membuai hari – hariku dalam bayangnya.

         Liburan panjang semester pun bersambut, kudengar berita bahwa dita resmi berpacaran dengan lelaki seusianya, tetapi beda fakultas. Hatiku runtuh. Dan aku pantas mendapatkannya karena aku tak memiliki keberanian secuil pun untuk mengenalnya lebih dekat. Aku berikan pesan singkat padanya via blackberry messenger,”aku mengira kamu menyukaiku..” dan dirinya hanya membalas singkat,” oh..enggak kak..gak maksud..maaf..” lalu bagaimana dengan tatapan penuh makna yang ia berikan padaku? Senyuman yang selama ini ia lemparkan untuk menghangatkan hari – hariku? apakah semua itu adalah kosong?

     Pagi baru pun menyambut..dengan hati yang meneteskan darah..tubuh yang lemas tanpa tenaga..aku melepaskan kenanganku..kenangan indah yang menemaniku selama 1 semester..kenangan untuk mengenalmu..kenangan karena pernah mencintaimu..

      yah..setidaknya aku belajar untuk memberikan cinta tanpa syarat.. kepada seorang yang ternyata kosong dan tak memiliki perasaan apa – apa  kepadaku.. dan cinta itu tak harus berbalas kan?



Terima kasih dita..





Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Kamis, 24 Januari 2013

Pernahkan kamu terbutakan oleh cinta?


      Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta? Ketika pertama kali mengenal sinar matanya, goresan senyumnya yang begitu enggan pergi tinggalkan angan dan bergumul dalam bayangan, menggenggam hangat telapak tangannya sembari mengumbar nama satu sama lain dan tanganmu yang coklat kasar bercumbu dengan tangan putihnya yang halus, serpihan angin menggoda rambut hitam panjangnya yang menggerai sebahu dan buatnya menari – nari mendampingi senyum tipisnya yang menyapamu lekat – lekat.

       Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta? Ketika nomor telepon genggam miliknya sudah ditangan dan kamu hanya dapat menatapnya ribuan kali, setiap nomor yang berjejer disana yang seakan mengundangmu untuk menekan tombol call hanya untuk mendengarkan suaranya membelaimu saat itu juga, tapi.. ibu jarimu tertahan..diam tak bergeming, seolah ada sesuatu yang tak tampak menahanmu untuk menekan tombol warna hijau dan jantungmu berdebar cepat...terlalu cepat..hingga akhirnya kamu mengurungkan niatmu  dan berusaha untuk mencobanya lain kali sembari menghimpun nafas yang tercerai berai.. ya..kamu berakhir menghubunginya dalam bayangmu..dalam anganmu..dan itu sudah cukup..

       Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta? Ketika hari – hari panjangmu hanya diisi pelukan – pelukan hangat dirinya dalam pikiranmu tetapi begitu dingin dan beku dalam hatimu.. dirinya ada..hadir...memenuhi setiap sel di otakmu..tetapi hati terasa begitu lengang..begitu kosong..dan terisi hingga meluap – luap ketika kamu melihat dari belakang kilau hitam rambutnya yang berdansa bersama langkah kakinya sembari aura keramahan dengan teman sepermainannya mendekapmu begitu erat.. dan kamu tersenyum diiringi dengan hangatnya hati sembari menatapnya dari kejauhan..

     Pernahkan kamu terbutakan oleh cinta? Ketika tanpa sengaja kamu bertemu dengannya di sebuah cafe favoritmu, dirinya bersama seorang lelaki yang tak kamu kenal, dengan tangan yang saling menggenggam, dengan senyum yang saling menyapa, dengan tawa yang terurai, kamu terduduk di sudut favoritmu, mereka terbuai di sudut yang berlawanan denganmu, dan sekali lagi..kamu melihat aura bahagianya.. kamu tersenyum..

        Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta? Ketika kamu telah tak perduli berbagai hal negatif yang orang – orang lontarkan kepadanya, tetapi kamu tetap tak menyerah, meski dirimu tersakiti, meski dirimu terluka, meski dirimu nyari mati untuk tetap teguh dalam mempercayai hatimu, mempercayai cintamu, karena hati memiliki akal sendiri yang tak dimiliki oleh akal.

      Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta? Ketika pada akhirnya dirinya bahagia bersama seorang yang lain, menyandarkan kepalanya bukan pada bahumu, tersenyum dan memberikan sinar matanya bukan padamu, dan memeluk bukan pada hatimu yang letih, dingin, dan kosong.. tetapi itu semua terbayar ketika kamu menyadari bahwa dirinya bahagia dan kamu juga merasa bahagia karenanya...

   Pernahkah kamu terbutakan oleh cinta hingga akhirnya kamu berkata dalam hatimu untuk selalu mencintainya dengan hati kecilmu yang rapuh?


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Selasa, 22 Januari 2013

Pernik memory


Kupejamkan mataku dalam kelamnya malam..
Bercumbu dengan angin sisa musim dingin..
Langitpun sayu, pucat tanpa naungan bintang..
Pohon maple menari tanpa daun di sisinya.
Kelabu..
            Hanya ada kelebatan hitam dan kelabu dalam anganku..
            Angan yang merintih dalam guratan – guratan masa lalu..
            Masa di kala janji terlontar seindah pelangi..
            Juga masa di kala janji meradang dan terhapus sepi..
            Kelabu...
Air mata menetes dalam kepalsuan..
Hingga ia berontak dan terjatuh dalam aspal jalanan..
Luka yang mengalir tersayat pikiran – pikiran semu..
Yang mendambakan senyuman..
Yang merindukan kebahagiaan..
Kelabu..
            Dusta bersemai seindah senja..
            Dan cinta merintih dan kehilangan jati dirinya..
            Bahkan ia menolak dipanggil cinta..
            Ia mengasing di negeri antah berantah..
            Dirudung lapar..mengais tanah..
            Tergolek lemah tanpa seorangpun perduli..
            Kelabu..
Kubuka mataku yang terbuai dalam bulir peluh..
Masih adakah kasih yang tersisa?
Untuk sekedar menghangatkan..
Untuk sekedar mengampuni dan diampuni..
Masih adakah celah kecil di hatimu untuk kutinggali?
Aku kedinginan...aku kelaparan..
Biarlah aku tinggal di rongga tergelap hatimu..
Biarkan aku terbaring..
Kelabu..



Terinspirasi dari : “Dan ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”- Yesus


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Jumat, 18 Januari 2013

Kamu, Hujan, dan Senja


Sumber Gambar : www.google.com


            Sisa – sisa kelabu langit masih menggelayut di sela gerimis putih yang menaungi kota yogya..kutatap matanya dalam.. sembari kuhirup bau tanah yang semakin pekat..namun dirinya tertunduk tanpa berniat untuk membalas tatapanku..tangan kirinya berpegangan erat pada pagar depan rumahnya, seolah takut dirinya goyah..goyah dan memberikan hatinya padaku.. aku pun tertunduk..

            Untuk beberapa saat, kubiarkan gerimis menari membasahiku hingga tetesan – tetesan air jatuh ke tanah beraspal dari ujung – ujung rambutku..kuutarakan kembali pertanyaan untuk meyakinkan keputusannya akanku..”apa kamu yakin?”. Gadis itu, gadis yang mengalihkan duniaku semenjak pertama kali aku bertemu dengannya di perkuliahan yang sama 2 bulan yang lalu itu hanya menunduk dan mengangguk perlahan, tanda ia yakin dengan keputusannya. Dan tangan kirinya semakin erat memegang daun pagar itu..

            Mataku lesu, dan energi seolah meninggalkanku berkubang dalam kesendirian di tengah goresan luka yang tak dapat terurai dengan kata – kata. Senja kelabu pun beranjak pulang. Dan kurasa, aku pun harus pulang. Kugerakkan kedua kakiku menuju motor silver yang setia menemani perjalanan di sudut – sudut jalanan, kutatap wajahnya untuk terakhir kali, wajah yang mengantar kepulanganku dengan ketertundukan, kunyalakan mesinku, kurasakan tanganku kaku dan meregang ketika motor hendak kupacu, ahh..mungkin karena dinginnya hujan. Aku pun pergi meninggalkannya, meninggalkan rumahnya, dan berpacu menembus gerimis yang bertransformasi menjadi hujan..hujan yang terlalu lebat.

            Air – air hujan menembus kaca helmku, membelai wajahku yang tertutup dengan air mata, bahkan hujan dan air mata di wajahku pun tak dapat kubedakan..mataku terlalu sembab. Kutepikan motorku di jalanan yang sepi, dengan hujan yang masih bercinta denganku. Berbagai kelebatan memory menghantuiku dengan cepat. Ah.. seharusnya tak kubiarkan dirinya pergi dengan “kawan lama”nya, makan dan nonton bersama hingga menghabiskan waktu bersama, tertawa, bergumul dalam perbincangan yang mengolah nada, dan lukaku terbuka semakin menganga. Kubuka helmku, kurasakan desahan hujan di kepalaku, ya..tubuhku semakin basah, tetapi hatiku semakin mengering, bahkan terlalu banyak retak – retak di sudut – sudut hati, dimana hujan yang kupunya telah hilang, ia telah pergi.

            Kukenakan kembali helmku, kupacu  motor secara perlahan, kutinggalkan memory-ku, kutinggalkan cintaku, kutinggalkan bahagiaku, dan motor perlahan kupacu. Ketembus hujan yang semakin melebat, dengan hati yang kering dan retak, dengan air mata yang tak kunjung mereda..


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono

Senin, 14 Januari 2013

"Pak Sampah"


       Aku terbuai dalam belaian angin yang berhembus masuk menuju ruang tamu tempat aku duduk dan bercinta dengan buku – buku bacaanku. Kutatap keluar rumah, disana hadir hijau dedaunan yang menari malu berhiaskan keceriaan kicau burung di tengah arogansi mentari. Jalanan aspal depan rumahku sepi, menandakan tak banyak warga yang membiarkan diri mereka terbalut waktu dalam kenestapaan. Hanya satu dua pedagang baik makanan yang berisikan sayur mayur dan bumbu – bumbu masakan maupun pedagang alat – alat rumah tangga yang melintas menuju sudut - sudut gang itu.

       Tak berapa lama kemudian, kenikmatan membacaku terusik oleh kehadiran seseorang yang sangat familiar dalam masa kecilku dengan latar mentari yang mulai beradu malu dengan awan. Familiar dalam artian lekuk wajah dan bentuk tubuh begitu kukenali karena kehadirannya yang sering melintasi jalanan gang – gang rumah kami. Hanya sepatah dua patah kata yang ia tuturkan, atau bahkan tak bertutur sama sekali ketika tangan legamnya dengan lincah memungut tong – tong sampah rumah tangga yang tergeletak di depan masing – masing rumah penduduk dan memasukkannya ke dalam gerobak sampah lapuk yang setia menemaninya kayuhan demi kayuhan menjemput sampah - sampah itu.

       Dengan bermodalkan topi bundar berwarna hijau lusuh yang menghiasi sekeliling kepalanya, kaos oblong warna biru lusuh yang menjadi senjata kesehariannya, celana jeans biru muda yang telah memudar dan bercak – bercak kotoran di sisi kiri dan kanannya, dan tak lupa sandal jepit kesayangannya, ia bergerak memacu gerobak sampah yang terbuat dari kayu lapuk di masing – masing sisinya dan menembus hujan radiasi mentari demi mencukupi kebutuhannya dan keluarga yang dicintainya.

         Kehadirannya familiar di masa kecilku? Ya, sepengetahuanku, semenjak aku menempuh sekolah dasar hingga kini,  13 tahun atau mungkin lebih, dengan tatapan matanya yang melankolis dan senyum yang tanpa ragu ia sandarkan begitu mengguratkan aura ke-nrimo­-an akan dirinya sehingga gerak geriknya begitu membelai ketulusan hatinya dalam mengurusi sampah – sampah yang telah menjadi pekerjaannya selama bertahun – tahun itu. Jelas rasa gengsi ia buang jauh – jauh, sebuah pribadi yang langka di tengah materialisme dan hedonisme yang semakin membabi buta. Sebuah pekerja dengan jiwa yang rela berpeluh, menerima keadaan, berkarya dengan sepenuh hati, hingga garis – garis hidup terlukis manis bersanding pipi dan kelopak matanya.

       Apakah kita yang mengaku “orang kota” tidak merasa malu akan keihklasannya dalam menjalani hidup? Mengeluh akan hal – hal yang  “sedikit” memerlukan keprihatinan seperti contohnya ketika di masa – masa Kuliah Kerja Nyata yang dihadapi mahasiswa saat ini, para mahasiswa“kota” itu  mengeluh kulitnya rusak karena mandi menggunakan air tadah hujan, tidak tidur di kasur yang empuk, merindukan “masakan enak di kota”, sinyal telepon gengam yang timbul tenggelam dan banyak keluhan lainnya. Apakah kita tidak merasa malu ketika kita yang seharusnya memiliki tingkat intelegensi yang baik serta berbagai materi yang mampu menghasilkan kualitas hidup yang baik malah tidak mengerti cara untuk bersikap dan nrimo dalam menikmati hidup dan justru mereka yang telah terbiasa berkubang dalam derita, tak menempuh pendidikan bahkan tak cukup materi yang diperlukan untuk hidup serta ditempa oleh hidup justru mampu untuk menghasilkan yang terbaik bagi manusia – manusia di sekitar mereka khususnya keluarga mereka?

      Maukah kita meneladani sikap ke-nrimo-an dan kerendah hatian mereka serta berdamai dengan hidup ?


Ad Maiorem Dei Gloriam



Amadeus Okky Suryono