Perkenalanku dengan dita, mahasiswi
ekonomi jurusan manajemen, dimulai ketika kami menempuh mata kuliah yang sama. Mata
kuliah hitungan yang mampu memberikan momok tersendiri bagi para mahasiswa/i
karena kerumitannya, sehingga menurut mahasiswi berkulit putih dengan rambut
panjang berkilau sebahu itu, dirinya bahkan memerlukan seorang guru les untuk
membimbingnya menelusuri sudut – sudut intrik mata kuliah yang sangat berbau
khas akuntansi tersebut.
Dita selalu duduk di bangku
terdepan, bangku yang paling dekat dengan dosen Sedangkan aku tersudut pada
bangku paling belakang, spot yang jarang terlihat dosen agar aku dapat
melakukan aktivitas – aktivitas penghilang kebosanan ketika berada di tengah
penjelasan dosen yang terkadang meninabobokkan pendengarnya. Bagiku, mata
kuliah ini tak begitu rumit, karena kesukaanku dengan angka dan aku yang memang
merupakan jurusan akuntansi, sehingga terkadang aku terlalu meremehkan dan
berakhir pada pengulangan mata kuliah ini..yang mempertemukanku dengan dita,
dimana usianya 2 tahun di bawah usiaku..
Di suatu malam, aku dan dani, sahabatku
semasa kuliah, berperang dengan soal – soal yang terlampau sulit bahkan kurasa,
dosen yang bersangkutan pun mengibarkan bendera putih menghadapi soal – soal ini.
Dani yang juga satu jurusan dan seusia denganku pun memegangi kepalanya yang
terus menerus ia keluhkan pusing tersebut, dampak tak mampu mengerjakan soal –
soal itu. Frustasi karena upaya malam itu tak membuahkan hasil, aku pun
mengambil blackberry dani untuk
sekedar mempermainkannya dan mengambil break
di tengah nafas yang mulai sesak. Sebelum mempermainkannya, kulihat daftar
kontaknya, dan.. terpampang kontak dita..mahasiswi yang selalu menggoda untuk
kuperhatikan.. Tanpa ragu, akupun mentransfer kontak dita ke blackberry milikku, menambahkannya untuk
menjadi teman dan tak berapa lama kemudian, voila! Aku pun terhubung ke dalam
kehidupannya.
Perkenalan singkat di blackberry menggodaku untuk menanyakan penyelesaian soal
yang aku dan dani geluti sepanjang malam, mengingat kami sekelas telah
mengetahui bahwa hanya dita lah yang menyewa guru les untuk mata kuliah yang
bersangkutan. Tak berapa lama kemudian, terpampang jawaban dita dan guru lesnya
di layar blackberry, aku dan dani pun
bersorak, kami menang. Dengan bantuan dita tentunya.
Sejak saat itu, aku selalu menunggu
hari selasa, pukul 7 pagi, sederet waktu yang menyeret kami berdua ke pertemuan
mata kuliah itu. Di dalam kelas, kami hanya saling bertukar pandang, menebar
senyum, dan kikuk ketika berusaha untuk mengalihkan pandangan ketika tatapan
kami bertemu. Pagiku menjadi indah. Kampus menjadi tempatku mengadu.
Debar jantung terlalu cepat ketika
kucoba menghubunginya via telepon, bahkan berkali – kali kubatalkan niat
tersebut, mengumpulkan desah nafas dan mencoba menghubunginya lain kali. Tetapi
waktu yang tepat untuk menghubunginya pun tak kunjung datang dan hanya berujung
pada pelampiasan pesan – pesan singkat dalam blackberry messenger. Aku pun mulai bertanya pada diriku, “ apakah
ini cinta? cinta yang terlalu dalam sehingga mendengar suaranya pun dapat
memenuhi hatiku dengan kebahagiaan? Tetapi menghubunginya pun aku tak sanggup. Apakah
cintaku tak layak? Kemana perginya keberanianku yang kukobar-kobarkan beberapa
tahun belakangan?”
Pertemuan kami di kampus hanya diisi
dengan tatapan mata yang haus akan kerinduan untuk saling mengenal satu sama
lain, senyuman yang mendebarkan jiwa, dan kebahagiaan hanya dengan menatap
kehadirannya. Aku hanya merasakan, jiwa yang satu, dengan jarak yang memisahkan
raga. Hingga 1 semester pun berlalu..kami belum sempat mencecap hangatnya kehidupan
satu sama lain. Hanya kenangan akan tatapan,senyuman, dan gerak langkah yang
membuai hari – hariku dalam bayangnya.
Liburan panjang semester pun
bersambut, kudengar berita bahwa dita resmi berpacaran dengan lelaki seusianya,
tetapi beda fakultas. Hatiku runtuh. Dan aku pantas mendapatkannya karena aku
tak memiliki keberanian secuil pun untuk mengenalnya lebih dekat. Aku berikan
pesan singkat padanya via blackberry
messenger,”aku mengira kamu menyukaiku..” dan dirinya hanya membalas
singkat,” oh..enggak kak..gak maksud..maaf..” lalu bagaimana dengan tatapan
penuh makna yang ia berikan padaku? Senyuman yang selama ini ia lemparkan untuk
menghangatkan hari – hariku? apakah semua itu adalah kosong?
Pagi baru pun menyambut..dengan hati
yang meneteskan darah..tubuh yang lemas tanpa tenaga..aku melepaskan
kenanganku..kenangan indah yang menemaniku selama 1 semester..kenangan untuk
mengenalmu..kenangan karena pernah mencintaimu..
yah..setidaknya
aku belajar untuk memberikan cinta tanpa syarat.. kepada seorang yang ternyata kosong
dan tak memiliki perasaan apa – apa kepadaku.. dan cinta itu tak harus berbalas
kan?
Terima
kasih dita..
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono