Sumber gambar : www.google.com
Ingatkah kamu ketika duduk di bangku
kelas 1 SD, bapak - ibu guru membantu kalian menggurat mimpi sejak dini melalui
pertanyaan,” anak-anak, kalo besar mau jadi apa?”. Dengan mata berbinar dan
antusiasme yang menyala, jawaban pun mengalir dari mulut makhluk – makhluk mungil
yang masih buta akan hitam putihnya kehidupan yang merentang di balik bilik
masa kecil mereka. Dokter, insinyur, astronot, presiden merupakan jawaban umum
yang sering kita jumpai meskipun seminggu kemudian, beberapa diantara mereka
bahkan telah melupakan jawaban yang mereka berikan.
10 tahun kemudian ketika menginjak
di bangku SMA, ataupun mungkin disengaja atau tidak, meninggalkan perpacuan
wajib sekolah dan kewajibannya untuk sekolah dengan berbagai alasan, anak –
anak mungil yang telah menjelma menjadi manusia yang berusaha menapakkan
dirinya dalam kedewasaan kembali dihadapkan akan pertanyaan, apakah cita –
citaku? Apakah tujuan hidupku? Kemanakah mimpi – mimpiku yang terbang di balik
awan? Apakah ia pergi? Akankah aku merengkuhnya kembali?
Sembari waktu terus bergulir, dengan
pertanyaan yang terus mengusik jiwa mereka, tanpa sadar mereka menapaki suatu
kehidupan yang diluar ekspektasi dan suara hati mereka. Ada yang bilang,mereka
menempuh jurusan yang salah dalam perkuliahan, ada juga yang bilang,aku kuliah
karena orangtuaku menginginkannya dan segala alasan lain yang tak masuk akal
ketika mereka mulai berjalan setapak demi setapak di kegelapan dan jauh dari passion yang membara di balik dada
mereka.
Hingga akhirnya anak – anak mungil
itu beranjak dewasa, dewasa dalam artian mereka sudah mampu untuk membiayai
kehidupan mereka sendiri dengan bekerja di kantor – kantor ber-AC dalam gedung
yang mewah dimana raga melakukan pekerjaannya sedangkan jiwa melanglang buana
dan terbang meninggalkan dunia kantornya yang kecil dan membosankan. Di tengah
jiwanya yang terusik, bahkan banyak diantara mereka yang merasa pekerjaannya “lebih”
dengan kemampuan yang “lebih”, merasa berhak untuk mendiskreditkan pekerjaan
yang terlihat melalui kacamata mereka yang sempit dan memuakkan.. ya..mereka
mampu berkecukupan melalui pekerjaan mereka, tetapi apakah anak – anak mungil yang
kini tumbuh menjadi seorang pekerja tanpa jiwa telah memenuhi apa yang begitu
mereka inginkan dalam hidup?
Bagaimana
dengan seorang anak mungil yang sekarang tumbuh dalam kesederhanaannya dan
menapaki masa – masa kedewasaannya dengan berprofesi sebagai tukang sapu, tukang cuci baju, tukang sampah,
pedagang keliling dan kehidupan mereka dianggap sebagai kaum terasing, kaum
malas, tak berpendidikan? Apakah hidupnya tak tenang? Benarkah? Bagaimana jika ternyata
mereka melakukan pekerjaannya dengan tulus,nrimo,dan
mau melayani sesuai dengan suara hati mereka? Bagaimana jika justru merekalah
yang merupakan para pekerja dengan jiwa di dada mereka??
Ad
Maiorem Dei Gloriam
Amadeus
Okky Suryono